Jurnalisme Warga
Bahasa yang Mengendalikan Persepsi, Hegemoni Kata dalam Realitas Media
Pilihan kata dalam pemberitaan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sering kali telah dikonstruksi untuk menciptakan interpretasi tertentu terhadap
Oleh: Rika Kustina MPd, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UBBG Banda Aceh, sedang menempuh Program Doktoral di UPI Bandung, melaporkan dari Banda Aceh
"TIDAKLAH seseorang mengucapkan suatu kata, melainkan di sisinya ada malaikat pengawas
yang selalu siap mencatat." (QS. Qaf: 18).
Di era informasi yang semakin kompleks, masyarakat dihadapkan pada fenomena berita yang
belum jelas benar tidaknya (hoaks), misinformasi, dan 'framing' media yang memengaruhi persepsi
publik terhadap suatu peristiwa. Media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi
juga sebagai pembentuk opini yang dapat mengarahkan cara berpikir masyarakat.
Teun Adrianus van Dijk, Direktur Centre of Discourse Studies, dalam teori Analisis Wacana Kritis (AWK), menjelaskan bahwa bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga instrumen kekuasaan yang dapat digunakan untuk membangun atau mempertahankan dominasi suatu kelompok.
Pilihan kata dalam pemberitaan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan sering kali telah dikonstruksi untuk menciptakan interpretasi tertentu terhadap suatu peristiwa. Sebagai contoh, sebuah demonstrasi bisa disebut sebagai "aksi damai" atau "kerusuhan", bergantung pada kepentingan pihak yang menyampaikan informasi.
Begitu pula dengan kebijakan "penyesuaian tarif energi" sering digunakan untuk menggantikan
istilah "kenaikan tarif listrik atau bahan bakar", sehingga terdengar lebih netral dan dapat diterima oleh masyarakat.
Padahal, dalam praktiknya, istilah ini sering kali berarti meningkatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Dengan penggunaan bahasa yang lebih halus, pemerintah atau perusahaan penyedia layanan energi dapat mengurangi potensi resistensi dan protes publik terhadap kebijakan tersebut.
Hegemoni bahasa
Kontrol atas bahasa adalah strategi utama dalam mempertahankan kekuasaan. Salah satu cara yang
sering digunakan adalah penggunaan istilah tertentu dalam pemberitaan yang memengaruhi cara masyarakat memahami suatu isu.
Pemberitaan tentang konflik agraria, istilah yang digunakan media sering kali berpihak kepada kelompok yang lebih berkuasa:
• "Relokasi warga", padahal kenyataannya, banyak yang kehilangan tempat tinggal tanpa
kompensasi yang layak.
• "Penertiban lahan", seolah-olah warga yang telah bertahun-tahun tinggal di sana adalah pelanggar hukum, meskipun mereka memiliki hak adat atas tanah tersebut.
Van Dijk menyebut fenomena ini sebagai kontrol mikro terhadap bahasa, di mana pemilihan kata
tertentu dapat membentuk pemahaman yang berbeda mengenai realitas. Masyarakat yang tidak memiliki kesadaran kritis akan menerima informasi ini tanpa mempertanyakan latar belakang yang lebih luas.
Selain kontrol mikro, terdapat pula konteks makro, yang mencakup struktur kekuasaan,
ideologi, dan kepentingan politik yang melatarbelakangi penggunaan bahasa tersebut. Dalam konteks makro, wacana tidak hanya dipengaruhi oleh individu atau media yang menyebarkannya,
tetapi juga oleh institusi, kebijakan, dan sistem sosial yang berusaha mempertahankan dominasi kelompok tertentu.
Dengan kata lain, kontrol atas bahasa memungkinkan kelompok berkuasa untuk mengarahkan
pemahaman masyarakat tanpa harus melakukan pemaksaan secara langsung. Ini merupakan
bentuk kekuasaan simbolik, di mana dominasi dipertahankan melalui konstruksi wacana yang
secara tidak langsung membentuk pemikiran kolektif masyarakat.
Eufemisme dalam politik
Eufemisme adalah salah satu strategi yang paling sering digunakan dalam politik untuk
menyembunyikan realitas yang sebenarnya lebih keras atau menyamarkan kenyataan pahit.
Van Dijk menekankan bahwa pemilihan istilah dalam kebijakan publik sering kali dilakukan dengan tujuan membentuk persepsi positif di kalangan masyarakat.
Pemberitaan tentang Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, memunculkan berbagai istilah untuk mengubah cara publik memahami kebijakan, seperti “penyederhanaan regulasi", seolah-olah menguntungkan, padahal kenyataanya penghapusan aturan yang melindungi hak-hak pekerja.
"Fleksibilitas kerja", terdengar modern dan dinamis, kenyataannya merujuk pada sistem kerja
kontrak (alih daya) yang membuat pekerja tidak memiliki kepastian kerja. Selain itu, eufemisme juga digunakan dalam berbagai aspek lain, seperti pemotongan subsidi pendidikan yang disebut sebagai "efisiensi anggaran”.
Secara umum, efisiensi berarti penggunaan sumber daya secara optimal untuk mencapai hasil yang maksimal dengan pemborosan seminimal mungkin.
Jika pemerintah menggunakan istilah "efisiensi anggaran" untuk menutupi pemotongan anggaran yang merugikan masyarakat, ini sudah menyalahi makna asli dari efisiensi itu sendiri.
Dalam konteks anggaran negara, efisiensi idealnya berarti mengalokasikan dana dengan cara yang paling efektif untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Namun, dalam praktiknya, istilah "efisiensi anggaran", seperti saat ini ramai diperbincangkan, sering kali digunakan oleh pemerintah bukan dalam arti sebenarnya, tetapi sebagai eufemisme untuk pemotongan anggaran, pengurangan subsidi, atau penghapusan program sosial.
Jika benar-benar efisien, seharusnya anggaran tetap dapat mencukupi kebutuhan publik. dengan menghilangkan pemborosan, korupsi, atau alokasi yang tidak tepat sasaran. Namun, yang sering terjadi justru anggaran dipangkas tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya, sehingga masyarakat terutama kelompok rentan, kehilangan hak atau akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Lebih jauh, penggunaan istilah ini juga dapat dianggap sebagai manipulasi wacana atau
justifikasi politik melalui wacana. Kebijakan yang sejatinya bermasalah, tetapi dapat diterima
oleh masyarakat karena pemilihan istilah yang lebih halus.
Dampak sosial eufemisme politik
Penggunaan eufemisme dalam kebijakan publik memiliki dampak yang luas bagi masyarakat, di
antaranya:
1. Masyarakat kehilangan kesadaran terhadap dampak kebijakan.
Jika istilah yang digunakan terdengar positif, maka masyarakat lebih cenderung menerima
kebijakan tersebut tanpa mempertanyakan konsekuensinya.
Misalnya, banyak pekerja pada awalnya tidak menyadari bahwa Undang-Undang Cipta Kerja
mengurangi hak mereka karena istilah yang digunakan dalam sosialisasi terdengar
menguntungkan.
2. Protes dan perlawanan publik melemah.
Ketika kebijakan disebut "penyesuaian tarif energi", masyarakat mungkin tidak akan langsung
menolak karena terdengar netral dan seolah-olah hanya merupakan penyesuaian kecil yang wajar.
Namun, jika disebut secara langsung sebagai "kenaikan harga listrik dan BBM", reaksi publik akan
jauh lebih besar karena mereka menyadari dampak nyata dari kebijakan tersebut terhadap biaya
hidup sehari-hari.
3. Meningkatnya polarisasi opini.
Masyarakat yang mengkritik suatu kebijakan sering kali dianggap sebagai pihak yang tidak memahami keadaan atau bahkan antikemajuan, karena 'framing' yang dibuat oleh media.
Kesadaran berbahasa
Van Dijk menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk melawan manipulasi bahasa adalah dengan
membangun kesadaran wacana kritis. Masyarakat perlu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis terhadap bahasa yang digunakan dalam media dan politik.
Setiap kali membaca berita atau mendengar pidato, kita harus bertanya: (1) siapa yang berbicara? (apakah mereka memiliki kepentingan tertentu), (2) apa yang tidak dikatakan? (adakah fakta yang sengaja disembunyikan), dan (3) bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk pemikiran kita?
Bahkan, dalam ajaran Islam, kesadaran kritis terhadap informasi juga dianjurkan, sebagimana tertuang dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujarat yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (QS. Al-Hujurat: 6). Masyarakat yang sadar akan manipulasi bahasa tidak akan mudah terpengaruh oleh 'framing' media atau permainan kata dalam politik.
Kata-kata yang membebaskan
Teun A. van Dijk menegaskan bahwa wacana tidak hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan. Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk cara kita memahami dunia. Jika kita tidak kritis terhadapnya, kita akan menjadi korban dari konstruksi wacana yang menguntungkan
kelompok tertentu.
Masyarakat yang sadar bahasa akan lebih sulit dimanipulasi dan dapat membuat keputusan yang lebih cerdas. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjadi pembaca yang kritis, penulis yang bertanggung jawab, dan warga yang tidak mudah terprovokasi oleh permainan kata-kata.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.