Berita Aceh Utara

Proyek Irigasi Krueng Pase 5 Tahun tak Tuntas, Petani Dapat Gugat Negara Karena Lalai Lindungi Warga

Proyek rehabilitasi Bendung Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase selama hampir lima tahun dinilai sebagai bentuk kelalaian negara yang bisa digugat secara

Penulis: Jafaruddin | Editor: Muhammad Hadi
IST
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Al-Banna Lhokseumawe, Muksalmina, MH. 

Laporan Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM,LHOKSUKON – Proyek rehabilitasi Bendung Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase selama hampir lima tahun dinilai sebagai bentuk kelalaian negara yang bisa digugat secara hukum.

Dampak proyek yang belum tuntas ini menyebabkan ribuan petani di Aceh Utara dan Lhokseumawe, kehilangan mata pencaharian dan pendapatan hingga triliunan rupiah.

Proyek bendung yang berada di perbatasan Desa Leubok Tuwe, Kecamatan Meurah Mulia, dan Desa Maddi, Kecamatan Nibong, mulai dikerjakan pada Oktober 2021 oleh PT Rudi Jaya dengan nilai kontrak Rp 44,8 miliar dari APBN.

Namun, kontraktor asal Sidoarjo itu gagal menuntaskan pekerjaan hingga akhir 2022.

Kemudian pada tahun 2024 dilanjutkan pengerjaannya oleh PT Casanova Makmur Perkasa, yang beralamat di Banda Aceh, dengan nilai penawaran Rp 22.8 miliar setelah tender ulang.

Kendati proyek rekanan sudah menyelesaikan kontrak pengerjaan sampai Desember 2024, tapi sampai sekarang petani belum bisa mengaliri sawahnya.

Baca juga: HRD : Tahun Ini Pembangunan Rehabilitasi Bendung DI Krueng Pase Dilanjutkan

Dampak dari itu, 8.922 hektare areal sawah yang berada di delapan kecamatan dalam Kabupaten Aceh Utara dan satu kecamatan di Lhokseumawe tidak bisa digarap selama ini .

Sehingga petani kehilangan pendapatan mencapai Rp 4 triliun berdasarkan hitungan Dinas Pertanian dan Pangan Aceh Utara.

Pakar hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STTIH) Al-Banna Lhokseumawe, Muksalmina, MH, dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Sabtu (26/4/2205), menegaskan bahwa keterlambatan tersebut dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Menurutnya, masyarakat terdampak memiliki dasar kuat untuk menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika tidak segera ada penyelesaian.

Baca juga: VIDEO Israel Diduga Palsukan Data Kematian Tentara Zionis, Puluhan Ribu Tewas di Gaza

“Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi hak atas pangan dan penghidupan yang layak. Jika lalai, rakyat berhak menuntut,” ujarnya, mengacu pada Pasal 28C dan 28H UUD 1945 serta Pasal 33 ayat (3) UUD tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat.

Muksalmina menyebutkan bahwa jika ada unsur penyimpangan anggaran atau pelanggaran dalam pelaksanaan proyek, maka kasus ini juga dapat masuk ke ranah pidana sesuai UU Tindak Pidana Korupsi.

Ia juga merujuk pada preseden hukum internasional, seperti kasus Urgenda vs Pemerintah Belanda, sebagai bukti bahwa kelambanan negara bisa dituntut secara hukum.

“Masyarakat tidak hanya kehilangan hasil panen, tapi juga kehilangan hak dasar mereka. Negara tidak boleh lepas tanggung jawab,” pungkas Ketua STIH Al Banna Lhokseumawe.(*)

Baca juga: Sudah 7 Hari Bocah Tenggelam di Krueng Pase Aceh Utara belum Ditemukan, Ayah Korban Cukup Terpukul

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved