Berita Aceh Barat

Gelar Aksi Mayday 2025 di Meulaboh, Mahasiswa Tuntut Keadilan bagi Buruh dan Rakyat Kecil

Hingga akhir aksi, kegiatan berjalan tertib dan damai, dan massa membubarkan diri secara perlahan setelah menyampaikan aspirasinya.

Penulis: Sadul Bahri | Editor: Saifullah
For Serambinews.com  
DEMO HARI BURUH - Para mahasiswa saat melancarkan aksi demo pada peringatan Hari Buruh Internasional, Kamis (1/5/2025), yang berlangsung di Simpang Pelor Meulaboh, depan Gedung DPRK Aceh Barat. 

Laporan Sa’dul Bahri | Aceh Barat

SERAMBINEWS.COM, MEULABOH – Memperingati Hari Buruh Internasional atau Mayday 2025, Kamis (1/5/2025), sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Buruh Bergerak menggelar aksi damai di depan Gedung DPRK Aceh Barat di Meulaboh. 

Aksi yang berlangsung singkat namun padat ini menyuarakan berbagai tuntutan, mulai dari kesejahteraan buruh, keadilan sosial, hingga penolakan terhadap represi negara di Papua.

Aksi dimulai dengan orasi terbuka di Simpang Pelor Meulaboh, tepat di depan Gedung DPRK Aceh Barat

Dalam orasinya, para mahasiswa menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kaum buruh dan masyarakat kecil.

Petugas kepolisian terlihat berjaga di lokasi untuk memastikan keamanan selama aksi berlangsung. 

Hingga akhir aksi, kegiatan berjalan tertib dan damai, dan massa membubarkan diri secara perlahan setelah menyampaikan aspirasinya.

Tolak UU Cipta Kerja dan PHK massal

Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi, Rahmat Afrizal menegaskan, bahwa pemerintah selama ini tidak melibatkan kelompok buruh dalam proses penyusunan regulasi ketenagakerjaan. 

Ia menyoroti UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang menurutnya, merugikan hak-hak pekerja secara struktural.

“Buruh semakin terpinggirkan, bekerja dengan upah minimum di tengah naiknya harga kebutuhan pokok,” tukasnya. 

“Kebijakan-kebijakan seperti Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 dan PP Nomor 7 Tahun 2021, juga memperburuk situasi,” ujar Rahmat.

Lebih lanjut, ia menyoroti, fenomena PHK massal yang terjadi akibat banyaknya perusahaan yang gulung tikar atau relokasi ke luar negeri. 

Hal ini dianggap sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam menciptakan iklim ketenagakerjaan yang sehat dan berkelanjutan.

Dalam aksinya, massa aksi menyuarakan sejumlah tuntutan penting. Antaranya terkait kenaikan upah minimum sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), penyesuaian jam kerja sesuai UU Ketenagakerjaan, pemenuhan hak-hak dasar buruh perempuan, termasuk cuti kehamilan, jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja, penghentian PHK massal dan jaminan kebebasan berserikat, pencabutan UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.

Selain isu ketenagakerjaan, aliansi juga menuntut agar pemerintah menjamin akses pendidikan yang gratis, berkualitas, dan adil hingga ke pelosok desa. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai praktik pemerintahan yang “fasis dan militeristik”.

Menariknya, aksi ini juga mengangkat isu aneksasi Papua Barat yang menurut mereka merupakan bentuk kolonialisme terselubung. 

“Sudah 62 tahun, rakyat Papua terus mengalami penindasan, kekerasan, rasisme, dan marginalisasi,” kata salah satu orator.

Mereka mengecam keras tindakan represif aparat keamanan di Tanah Papua, serta menuntut agar pemerintah lebih serius memperhatikan nasib dan hak-hak masyarakat Papua secara adil dan bermartabat.

Aliansi Buruh Bergerak mengingatkan bahwa Hari Buruh Internasional adalah hasil dari perjuangan panjang kelas pekerja sejak abad ke-19, saat buruh menuntut pembatasan jam kerja menjadi 8 jam sehari. 

Semangat yang sama masih relevan hari ini, ketika buruh di Indonesia masih menghadapi ketimpangan dan eksploitasi.

Dengan menggelar aksi ini, para mahasiswa berharap suara mereka menjadi pengingat bagi pengambil kebijakan bahwa keadilan sosial dan hak-hak rakyat tidak boleh diabaikan.(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved