Tim Friede Pria di AS Disuntik Bisa Ular 856 Kali Selama 18 Tahun, Kini Terbukti Punya Antibodi

Para peneliti mengisolasi antibodi darah Frede yang bereaksi dengan neurotoksin yang ditemukan dalam 19 spesies ular yang diujikan dalam penelitian.

Editor: Faisal Zamzami
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Anak ular cobra yang di rescue anggota Komunitas Ciliwung Depok dari rumah warga di Depok, Jawa Barat, Rabu (18/12/2019). Akhir-akhir ini di beberapa rumah warga di wilayah di Jabodetabek banyak kasus penemuan ular liar. 

SERAMBINEWS.COM - Seorang pria di Amerika Serikat (AS) menyuntikkan bisa ular ke tubuhnya sebanyak 856 kali selama 18 tahun.

Dia adalah Tim Friede, seorang ahli ular otodidak yang berbasis di California.

Friede dengan sengaja menyuntikkan bisa ular ke tubuhnya hingga dirinya memperoleh kekebalan terhadap beberapa neurotoksin.

Dikutip dari 1News, para peneliti mengatakan, bisa yang disuntikan berasal dari ular sangat mematikan dan mampu membunuh seekor kuda.

Penemuan ini diketahui oleh ahli imunologi, Jacob Glanville melalui sebuah laporan pada 2017. Dia kemudian sepakat dengan Friede untuk mengembangkan penelitian.

  

Glanville meminta izin untuk memeriksa darah Friede. Penawaran itu disambut baik.

Friede menyumbangkan sampel darah sebanyak 40 mililiter kepada Glanville dan rekan-rekannya.

"Friede, sepengetahuan saya, memiliki sejarah yang tak tertandingi. Spesiesnya berbeda-beda, sangat beragam dari setiap benua yang memiliki ular, dan ia terus berganti-ganti (bisa ular) selama 17 tahun, sembilan bulan sejarah, dan ia mencatat dengan saksama sepanjang waktu," kata Glanville, dikutip dari CNN.

Meski demikian, Glanville tidak menyarankan cara ini dilakukan oleh siapa pun. Dia memperingatkan, bisa ular sangat berbahaya.

Friede diketahui berhenti mengimuniasasi dirinya dengan bisa ular pada 2018 setelah beberapa kali hampir kena racun.

Sekarang dirinya bekerja di perusahaan bioteknologi milik Glanville.

Baca juga: Ular Kobra Masuk Kos Putri, Sembunyi di Belakang Lemari hingga Bikin Panik Warga Lhokseumawe

Antibodi terbukti bisa jadi antibisa ular

Sekitar 8 tahun kemudian, Glanville dan seorang profesor Ilmu kedokteran Richard J. Stock di Vagelos College of Physicians and Surgeons, Universitas Columbia, Peter Kwong menerbitkan rincian tentang antibisa yang dapat melindungi dari gigitan 19 spesies ular berbisa. Antibisa tersebut diperoleh dari antibodi di dalam darah Friede.

Hasil penelitian ini termuat dalam jurnal ilmiah Cell.

Para peneliti mengisolasi antibodi darah Frede yang bereaksi dengan neurotoksin yang ditemukan dalam 19 spesies ular yang diujikan dalam penelitian.

Antibodi ini kemudian diuji satu per satu pada tikus yang diracuni oleh bisa 19 spesies ular. Dengan begitu, ilmuwan mampu memahami secara sistematis jumlah minimum komponen untuk menetralkan racun bisa ular.


Campuran obat yang diciptakan tim tersebut mencakup tiga hal, dua berupa antibodi yang diisolasi dari Friede dan obat molekul kecil varespladib yang menghambat enzim pada 95 persen semua gigitan ular.

Obat tersebut saat ini sedang dalam uji klinis pada manusia sebagai pengobatan mandiri.

Antibodi yang pertama dikenal sebagai LNX-D09. Ini mampu melindungi tikus dari bisa enam spesies ular yang mematikan.

Penambahan varespladib memberikan perlindungan terhadap tiga spesies tambahan. Terakhir, para peneliti menambahkan antibodi kedua yang diisolasi dari darah Friede yang kemudian disebut SNX-B03.

Antibodi ini memperluas perlindungan terhadap 19 spesies gigitan ular berbisa.

Pada tikus, antibodi itu mampu memberikan perlindungan 100 persen dari gigitan 13 spesies dan perlindungan parsial, 29-40 persen untuk 6 spesies lainnya.

Seorang farmakolog gigitan ular di universitas Lancaster di Inggris, Steven Hall mengatakan, temuan ini sebagai cara cerdik dan kreatif untuk mengembangkan antibisa.

Meski temuan itu belum diujikan terhadap manusia, Hall mengatakan, ada kemungkinan temuan itu disetujui untuk penggunaan klinis.

Dengan syarat, antibodi yang berasal dari manusia kemungkinan besar akan memiliki lebih sedikit efek samping dibandingkan antibisa yang dibuat dengan cara tradisional menggunakan kuda atau hewan lain, yang sering kali dapat mengakibatkan reaksi alergi.

“Sangat mengesankan karena hal ini dilakukan dengan satu atau dua antibodi, ditambah obat molekul kecil, dan hal ini meningkatkan jumlah spesies, dibandingkan dengan penangkal biasa. Saya pikir ini melakukan pekerjaan yang baik dalam menyoroti potensi kegunaan menggabungkan obat molekul kecil dengan antibodi,” kata Hall.

“Jika berhasil masuk ke klinik, berhasil digunakan oleh manusia dalam jangka panjang, itu akan menjadi revolusioner. Ini benar-benar akan mengubah bidang ini secara total dalam hal (pengobatan) gigitan ular,” tambahnya.

Kwong dari Columbia mengatakan bahwa penelitian yang dipublikasikan ini berfokus pada kelas ular yang dikenal sebagai elapid.

Penelitian ini tidak termasuk viperids, kelompok utama ular berbisa lainnya yang meliputi ular berbisa, ular berbisa sisik gergaji dan spesies lainnya.

Namun, tim sedang menyelidiki apakah antibodi tambahan yang diidentifikasi dalam darah Friede atau agen lain dapat memberikan perlindungan terhadap kelompok ular viperid ini.

“Produk akhir yang dipertimbangkan adalah satu koktail pan-antivenom atau kami berpotensi membuat dua, satu untuk elapid dan satu lagi untuk viperid karena beberapa daerah di dunia hanya memiliki satu atau yang lain,” kata Kwong.

Tim ini juga ingin memulai penelitian lapangan di Australia, di mana hanya ada ular elapid, yang memungkinkan dokter hewan untuk menggunakan antivenom pada anjing yang digigit ular.

 

Baca juga: Mahfud MD Sorot Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Ingatkan Jangan Sampai Cederai Logika Konstitusi

Baca juga: Skor UTBK SNBT 2025 Masih Bisa Dipakai! Ini 25 Kampus yang Buka Jalur Mandiri Tanpa Tes Ulang

Baca juga: Trio Pencuri dan Penadah Baterai Milik BMKG Diringkus Satreskrim Polres Pijay, 4 Aki Kering Disita

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved