Kupi Beungoh
Ancaman Bom Sisa Perang Aceh
Bom militer buatan Rusia yang ditemukan itu adalah jenis proyektil aktif peninggalan era perang kolonial atau pupoler disebut juga Explosive Remnants
Oleh Dr. H. Muhammad Heikal Daudy, S.H., M.H*)
Salah satu rubrik berita harian ini edisi Minggu (11/5/2025) memuat judul “Warga Lhoknga Temukan Bom”.
Penemuan yang mengejutkan Warga Gampong Lampaya, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar tersebut, kembali membuat publik di Aceh “geger”.
Bom militer buatan Rusia yang ditemukan itu adalah jenis proyektil aktif peninggalan era perang kolonial atau pupoler disebut juga Explosive Remnants of War (ERW) berdasarkan Konvensi Ranjau Darat Antipersonel 1997.
Penting untuk diketahui publik bahwa penemuan bom-bom sisa konflik bersenjata khususnya sejak damai MoU Helsinki antara Pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 silam sudah sering terjadi.
Tercatat puluhan bahkan ratusan bom dari berbagai jenis peninggalan konflik internal dalam negeri (internal armed conflict), berikut penemuan alat peledak eks kolonial dimasa pergolakan revolusi kemerdekaan dulu, telah ditemukan di daerah ini.
Lantas apa hubungannya bom-bom tersebut dengan Konvensi Ranjau Darat Antipersonel 1997?.
Konvensi ini merupakan payung hukum utama (umbrella convention) terhadap pengaturan seluruh jenis ranjau darat anti-personel termasuk dalam katagori ini adalah bom-bom atau alat peledak sisa konflik yang telah ”bersembunyi” dalam waktu yang lama tanpa diketahui keberadaannya disuatu tempat.
Artinya keberadaan ”bom-bom tak bertuan” tersebut telah menjadi ”ranjau”!.
Sebagai eks daerah konflik bersenjata, Aceh rawan dengan keberadaan ranjau darat tersebut.
Baca juga: Warga Lhoknga Aceh Besar Temukan Bom, Diduga Bekas Peninggalan Belanda
Dalam dokumen resmi yang pernah dirilis oleh sebuah lembaga internasional yang fokus melakukan pengawasan terhadap penggunaan ranjau darat anti-personel di seluruh dunia yaitu International Campaign to Ban Landmines (ICBL).
Tercatat bahwa Indonesia bersama sejumlah negara di dunia merupakan wilayah yang masih “terancam” dengan keberadaan ranjau darat.
Dalam catatan lain, laporan Tim Ahli dari Belgia yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) beberapa tahun silam juga menunjukkan kenyataan tersebut.
Pada saat itu AMM pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah maupun GAM tidak pernah menyerahkan alat peledak untuk dilakukan disposal, sekalipun sudah ada anggaran untuk itu.
Adapun kasus-kasus penemuan bom yang saban waktu mencuat ke permukaan, rentan terjadi karena klausul butir MoU Helsinki (butir 4.3) tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa semua senjata, amunisi dan alat peledak diserahkan untuk dimusnahkan.
Untuk Tiga Perempuan Seniman Aceh: Benarkah Aturan Jilbab Syariat Islam Merendahkan Perempuan? |
![]() |
---|
Mengapa Mendirikan Fakultas Kedokteran di UTU? |
![]() |
---|
Prof Jarjani Usman: Representasi Gen X yang Optimistis dan Anti FOMO |
![]() |
---|
MIGAS Mengalir ke Medan, Kemiskinan Mengendap di Aceh |
![]() |
---|
CSR: Tanggung Jawab Korporasi Bukan Sekedar Derma |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.