Sastra
Rindu yang tak Pernah Usai
Teman-teman menjerit seperti nonton film horor di bioskop murah. Tapi yang paling aneh adalah detak jantungku sendiri.
Aku pengen lempar mukena ke mukanya. Tapi aku perempuan baik-baik. Jadi aku cuma mengangguk, lalu pura-pura tidur sambil nangis diam-diam. Sampai mukaku kayak donat kebanjiran gula.
Sampai kemudian datanglah dia. Malaikat dalam bentuk manusia. Cantika Putri—anak Bandung, Banda Aceh ujung, maksudku. Kami satu kamar, satu selera humor, dan satu frekuensi ‘gila’.
“Tahu nggak,” katanya sambil mengupas Beng-Beng seperti bedah otak. “Jessica tuh kayak nasi goreng pake coklat. Cantik, tapi aneh.”
Aku tertawa. Itu pertama kalinya aku bisa ketawa dari rindu. Ketawa beneran, bukan yang palsu kayak senyum Jessica pas difoto bareng guru matematika.
Cantika itu seperti pendingin ruangan di musim rindu. Dia enggak banyak tanya, tapi ngerti. Kadang, itu lebih menyembuhkan daripada motivasi tiga paragraf dari motivator terkenal.
Dia cerita. Ternyata dia juga punya rindu yang membatu. Ayahnya meninggal dua tahun lalu. Ibunya kerja di luar negeri. Dan setiap malam dia juga sering pura-pura kuat, padahal hatinya keropos kayak papan di dinding dimakan rayap.
Kami lalu bikin ritual: menulis surat untuk ibu.
Bukan di HP. Tapi di kertas. Pakai pena. Yang bisa dibasahi air mata. Yang bisa dilipat-lipat, ditempel di dinding kamar, atau diselipkan di bawah bantal.
Kadang surat itu cuma satu kalimat:
“Bu, maaf tadi siang aku tidur pas ustazah ngajar. Tapi aku tetap ingat doamu.”
Atau:
“Bu, tadi aku jatuh di tangga. Luka. Tapi lebih luka waktu inget ibu gak bisa ada di sini.”
Dan Cantika pernah nulis ini:
“Ma, aku makan tahu bulat yang baunya mirip masakan Mama. Tapi setelah digigit, rasanya malah kayak kapur angus.”
Kami juga bikin “dinding rindu”. Di sana ada foto masa kecil, doa-doa ibu yang aku hafal, dan juga catatan kecil tentang momen yang kami rindukan Ada satu kertas warna biru, aku tulis:
“Ibu, aku kangen saat ibu bilang, ‘tidur, nak’ sebelum lampu kamar dimatikan.”
Malam itu, kami menangis bareng. Lalu tertawa bareng. Kadang bingung: ini duka atau bahagia?
Syahdan, Jessica datang suatu sore. Masuk ke kamar, tatap-tatap dinding rindu kami. Dia diam lama. Lalu pelan-pelan berkata,
“Gue... juga pernah kangen emak. Tapi udah lama enggak berani ngakuin.”
Dan sejak itu, dinding rindu kami jadi milik bersama. Jessica pun akhirnya nulis satu kalimat:
“Bu, terima kasih pernah rela berdiri sejam demi beli kue ulang tahun gue waktu kecil.”

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.