Sastra

Rindu yang tak Pernah Usai

Teman-teman menjerit seperti nonton film horor di bioskop murah. Tapi yang paling aneh adalah detak jantungku sendiri.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Ratu anggota kelas jurnalistik Putri Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Aceh, Besar. 

Oleh: Ratu SS*)

PETIR menyambar atap Asrama Syafiah Dayah Darul Ihsan seperti amukan langit yang patah hati. Langit seperti ingin bicara, keras dan tak sabar. Cahayanya menghantam genteng-genteng tua yang menggigil, memaksa seisi asrama terjaga dari tidur dan lamunannya. Seperti pelabuhan besar diterpa sorot menara mercusuar, kamar kami yang biasanya remang dan sunyi, mendadak seolah disulap menjadi siang hari yang berteriak. Lampu-lampu pun mati—padam dalam diam, seperti ibu yang mendadak hilang dari pelukanku.

Teman-teman menjerit seperti nonton film horor di bioskop murah. Tapi yang paling aneh adalah detak jantungku sendiri. Ia berdetak seperti menyebut satu nama: Ibu.

Rasa rindu itu datang seperti maling. Diam-diam. Lalu mengguncang semuanya.

Rindu yang sepi. Rindu yang tak tahu arah. Rindu yang... absurd.

Namaku Dina Siregar. Anak sulung dari Medan, “terdampar” di Banda Aceh karena mondok di dayah Abu Krueng Kalee. Madrasahnya bagus, asrama katanya Islami. Tapi satu hal yang tidak  ditulis  di brosur pendaftaran: tentang bagaimana cara bertahan dari rindu yang menusuk secara diam mendalam kepada sosok surgaku.

Sumpah, aku sudah coba semuanya.

Video call? Sudah. Tapi sinyal di desa siem dekat gunung Glee Iniem seperti iman pas naik-turun. Seringnya turun.

Minta dikirim foto masakan ibu? Sudah. Tapi malah bikin aku merasa seperti pecundang—menatap rendang lewat layar handphone, padahal di dunia nyata aku makan mie instan seminggu berturut-turut.

Aku bahkan pernah mencium baju yang terakhir kali ibu peluk waktu nganterin aku ke dayah pas balik awal semester. Tapi baunya sudah berubah, lebih mirip bau cat lemari kayu daripada pelukan ibu.

Setiap Kamis sore, dan Ahad sore... entah kenapa semesta punya hobi “menyiksa”. Mungkin karena hari kunjungan.  Di waktu dua sore itu, langit seolah jadi layar bioskop yang memutar ulang masa kecilku: ketika aku main air dan ibu mengomel, ketika aku pura-pura tidur supaya dipeluk, ketika aku sakit dan ibu panik sampai lupa pakai jilbab ke klinik.

Sakit. Tapi manis. Tapi tetap saja: sakit.

Lalu aku cerita ke orang. Salahnya aku di situ.

Jessica Azizah, anak kelas 12 IPA asal Gayo, Sica adalah perempuan yang cantik, pintar, tapi mulutnya lebih tajam dari komentar netizen di TikTok. Ketika aku bilang, aku sering kangen ibu, dia tertawa. Bahkan dia ajak kawan lain tawain Aku. Begitulah kawan usilku itu. saudara-saudara!

“Ya ampun Din, lo kayak janda muda beranak lima deh! Baru ditinggal emak sebentar udah seperti drama Korea aja.” Itu sentilan pedas anak gayo itu.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved