Opini
Menerima Uluran Tangan dari Negara Paling Berbahaya
Ketiganya tampil mewakili karakter masing-masing: Trump mencerminkan wajah kepala negara paling berbahaya di dunia;
Oleh: T. Taufiqulhadi *)
SEPEKAN ini, masyarakat dunia tidak habis-habisnya berbincang tentang sebuah foto paling monumental dari Riyadh, ibukota Arab Saudi yang memperlihatkan Presiden Donald Trump sedang berpose dengan pemimpin de facto Arab Saudi Pangeran Muhammad dan pemimpin milisi Islam yang berubah menjadi Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa.
Ketiganya tampil mewakili karakter masing-masing: Trump mencerminkan wajah kepala negara paling berbahaya di dunia; Pangeran Muhammad mewakili wajah kepala negara paling beruntung di muka bumi; dan al-Sharaa mewakili wajah kepala negara paling memelaskan saat ini.
Trump pemimpin sebuah negara, yang menurut Jeffrey Sachs, paling berbahaya karena demi kepentingan nasionalnya, Washington bersedia menghalalkan segala cara. Kini Trump menawarkan bantuan kepada al-Sharaa, mantan pemberontak paling radikal dan dogmatis. Al-Sharaa harus segera bersikap dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada.
Keadaan yang ada, di dalam negeri Suriah masih belum terjadi konsolidasi kekuasaan rezim baru ini. Al-Sharaa juga belum menemukan cara untuk mengatasi disintegrasi wilayah. Kurdi di utara Suriah membentuk pemerintahan otonom sendiri dan mengabaikan Damaskus. Di luarnya, Israel terus menggempur Suriah dan menciptakan kesan dan fakta di lapangan, Israel mampu mengendalikan Suriah, dan pihak yang lemah tidak ada ruang untuk mendorong kesepakatan apa pun.
Maka berat dugaan, ia terpaksa menerima tawaran Trump, yang sebenarnya bukan bantuan, tapi mengembalikan semua milik Suriah yang disandera AS. Semua aset Suriah di Amerika, terutama yang bersumber dari minyak, dibekukan oleh Washington semasa Assad.
Tapi dengan pencabutan saksi ini, menurut nasehat Muhammad, pangeran dari Saudi yang namanya sering disingkat MBS ini, al-Sharaa akan memiliki akses ke semua ibukota lain di seluruh dunia.
Walau hanya itu sekedar pengembalian aset yang disandera karena faktor senang tidak senang AS, Trump tetap mengajukan syarat besar: normalisasikan hubungan dengan Israel.
Menormalisasi hubungan dengan Israel sesungguhnya telah ada peta jalan, apa yang dikenal dengan "Abraham Accord". Sebuah perjanjian yang mengatasnamakan leluhur bangsa Arab dan Yahudi, yaitu Ibrahim. Setelah gagasan itu diluncurkan oleh AS pada 2020, setidaknya tiga negara Arab telah terjaring dalam accord tersebut yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko ditambah satu negara Afrika, Sudan.
Tapi masuknya Suriah ke dalam jaringan ini menjadi sangat berbeda maknanya. Suriah bukan Bahrain atau UEA kecil yang hampir tidak memiliki politik luar negeri. Tidak memiliki tapal batas bersama, dan tidak pernah berperang dengan Israel.
Suriah adalah negara yang berperang dengan Israel sejak negara Zionis itu didirikan pada tahun 1948, dan sejumlah besar wilayah Suriah, seperti Dataran Tinggi Golan, masih berada di tangan Israel.
Tujuan Abraham Accord sesungguhnya cukup mulia karena ingin mengubah naratif tradisional konflik Arab-Israel menjadi bentuk kerja sama dalam bidang ekonomi dan politik sehingga tercapai tujuan hidup berdampingan secara damai.
Tapi jika Suriah menormalkan hubungan dengan Israel, apakah Israel bersedia menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan milik Suriah? Inilah pertanyaan penting.
Lebih-lebih bagi al-Sharaa, pejuang yang punya asal-usul dari Golan. Ia dikagumi dan diterima oleh para pejuang lain karena ia tampil dengan narasi syariah dan kedaulatan Asy-Syam untuk menyingkirkan al-Assad.
Tapi untuk diketahhi, perjanjian Abraham tersebut pertama kali digelindingkan di ibukota negara paling berbahaya di dunia. Dan, setiap perjanjiannya harus ditandatangani di Washington dan di depan mata pemimpin negara tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.