Opini
Menerima Uluran Tangan dari Negara Paling Berbahaya
Ketiganya tampil mewakili karakter masing-masing: Trump mencerminkan wajah kepala negara paling berbahaya di dunia;
Maka apakah benar Washington menjadi penengah yang tulus untuk kawasan itu? Menurut Jeffery Sachs, seorang profesor dari Harvard dan sangat artikulatif berbicara tentang negaranya, AS tidak berpikir tentang perdamaian di suatu kawasan dengan perspektif kawasan itu. Tapi bagi AS perdamaian itu harus menampung seluruh kepentingan AS.
Semua kawasan yang damai karena dukungan AS, pasti harus disediakan alas bagi pangkalan militer AS. Pangkalan militer tersebut untuk menjamin kepentingan AS secara militer dan kepentingan stabilisasi dolar. Dolar yang cetak di AS, dengan intimidasi pangkalan militer, harus tetap menjadi alat tukar utama dunia dan kemudian harus kembali ke Wall Street dalam keadaan nyaman. Jeffery mengatakan, setiap negara yang ditempati pangkalan militer AS, pasti negara tersebut akan mengalami pusing tujuh keliling. Ada sekitar 800 pangkalan militer AS semua yang terdapat di sekitar 80 negara di dunia. Jadi sekarang setidaknya, ada 80 negara di muka bumi ini yang seniwen dengan muncul kembali Trump.
Namun ada kekecualian, justru yang pusing AS sendiri. Negara itu adalah Israel. Israel paling sukses memanipulasi kepentingan nasional Israel menjadi kepentingan nasional AS.
Mengikuti kemampuan manipulasi ini, dapat dibilang seluruh Israel itu adalah pangkalan militer Amerika. Maka selain kehadiran tentara pasukan AS di tanah Israel, persenjataan militer yang dioperasikan tentara Israel, harus dianggap sebagai persenjataan yang dioperasikan sendiri oleh tentara AS.
Israel, dengan dukungan kekuatan pelobi Israel di Amerika, selalu sukses menjamin suplai senjata AS ke "pangkalannya sendiri" yang disebut negara Israel.
Itu sebabnya, aktivis hak asasi manusia internasional, meyakini, genosida di Gaza dilakukan bersama antara Israel dan Amerika.
Atas alasan itu pula, seluruh perang yang melibatkan negara Arab di Timur Tengah, tidak dimulai dari negara Arab. Semua dimulai dari Washington---dan tentu saja bersama Tel Aviv.
Perang di Irak, Libya, dan Mesir tidak dimulai dari Saddan Hussein, Muammar Gadhafi dan Hosni Mubarak. Tapi, menurut Sachs, semua direncanakan di Washington.
Perang Suriah menghadapi Ahmad al-Shara dan teman-temannya, tidak dimulai dari al-Assad. Tapi dimulai dari meja Barrack Obama di Washington.
Sama seperti pergantian rezim di Irak dan Libya, yang didasarkan kekhawatiran Washington kepada Saddam Hussein dan Muammar Ghadafi yang akan menggantikan dolar dengan mata uang lain. Al-Assad juga harus disingkirkan karena ia menolak sistem ekonomi nasionalnya itu terkait dengan Wall Street.
Tapi meski di mulai dari meja Obama, tidak ada negara di dunia ini yang lebih menghendaki kehancuran Suriah ketimbang Israel. Maka ketika Obama menyetujui pergantian rejim di Suriah, PM Israel Benyamin Netanyahu langsung berjingkrak girang.
Ia segera merumuskan pola dukungan tersembunyi untuk penggulingan Assad.
Di pihak lain, untuk berjaga-jaga, AS juga melapisi pertahanan Israel dengan mengirim pesawat tempur terbaru F-35 dan 50 pesawat tempur F-15 senilai $18,8 miliar Amerika serta sejumlah rudal untuk pertahanan udara Israel. Dilanjutkan dengan merumuskan bentuk musuh dan kawan dalam perang itu. Atas permintan AS, Israel merumuskan "musuh dari musuh adalah kawan."
Milisi yang dipimpin, antara oleh al-Sharaa, ditetapkan sebagai kawan karena menjadi musuh dari musuhnya, Assad. Itu juga menjelaskan kenapa beberapa kali saat perang berlangsung, pesawat tempur Israel melancarkan pengeboman di beberapa tempat dekat Damaskus. Israel juga mengerahkan tenaga medis ke Golan untuk membantu para milisi yang cedera.
Sebuah kebijakan perang yang diambil di ibukota Amerika, maka pasti Inggris, Prancis, Turki, Australia, negara-negara Teluk, dan sudah pasti Israel, akan segera berubah menjadi tentara Washington. Itu yang terjadi di Suriah. Ketika Obama memutuskan perang untuk menyingkirkan Assad, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Turki, dan Inggris segera mengerahkan milisi berbahasa agama untuk menyingkirkan Assad.
Memang pada akhirnya, bukan di masa Obama, tapi di masa Trump, Assad tumbang, dan itu memberikan kepada al-Shara, pemimpin HTS untuk mengklaim posisi presiden Suriah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.