Info Subulussalam

Bela Masyarakat, Wali Kota Subulussalam Laporkan PT Laot Bangko ke Menteri ATR/BPN RI

HRB melaporkan banyak permasalahan agraria dan pelanggaran usaha perkebunan di Kota Subulussalam kepada pihak kementerian ATR/BPN seperti PT Laot Bang

Penulis: Khalidin | Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
HRB - Wali Kota Subulussalam Haji Rasyid Bancin atau HRB (kiri) bersama Sekjen Kementerian ATR/BPN RI, Pudji Prasetijanto Hadi, Senin (19/5/2025) di Jakarta. 

HRB melaporkan banyak permasalahan agraria dan pelanggaran usaha perkebunan di Kota Subulussalam kepada pihak kementerian ATR/BPN seperti PT Laot Bangko. 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Wali Kota Subulussalam Haji Rasyid Bancin atau HRB mengatensi persoalan masyarakat dengan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PT Laot Bangko.

Hal itu dibuktikan dengan melaporkan perusahaan tersebut ke Kementerian ATR/BPN RI, Senin (19/5/2025) di Jakarta.

HRB melaporkan banyak permasalahan agraria dan pelanggaran usaha perkebunan di Kota Subulussalam kepada pihak kementerian ATR/BPN seperti PT Laot Bangko. 

Dalam pertemuan tersebut, HRB didampingi Staf Ahlinya Baginda Nasution membeberkan berbagai pelanggaran hingga kesewenangan pemilik HGU di sana dengan masyarakat sekitar.

HRB dengan nada bergetar menyampaikan setiap permasalahan warganya di hadapan Sekjen Kementerian ATR/BPN, Pudji Prasetijanto Hadi.

"Bahkan tadi ada salah satu dirjen di Kementerian ATR/BPN menggumankan kata “kejam” untuk menyebut perilaku perusahaan sawit di Kota Subulussalam," kata HRB kepada Serambinews.com, Rabu (21/5/2025).

Baca juga: Bertemu Sekjen Partai Gerindra, HRB dan Wagub Aceh Sampaikan Problem Keuangan Pemko Subulussalam

HRB melaporkan kasus penggalian parit gajah oleh PT Laot Bangko, sehingga menutup akses jalan warga sekitar.

Pembuatan parit gajah tersebut dinilai pelanggaran yang dilakukan secara terang-terangan. “Sebagian warga kami serasa hidup di zaman penjajahan VOC, pak,” kata HRB menggambarkan penderitaan warganya. 

Padahal lanjut HRB, keberadaan perusahaan seharusnya ikut memberikan manfaat sosial, bukan malah sebaliknya kemudaratan layaknnya jaman penjajahan.

Pada pertemuan itu turut hadir Virgo Eresta Jaya (Dirjen Pengukuran dan Pemetaan), Eko Priyanggodo (Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan), Yuliajaya Nirmawati (Dirjen Penataan Agraria), Rudi Rubijaya (Direktur Landform), dan Ana Anida (Direktur Pengaturan Tanah Pemerintah).

Menyikapi laporan HRB, Sekjen Kementerian ATR BPN menyampaikan kelemahan salah satu sistem hukum yakni tanah HGU yang sudah habis masa sewa. 

Namun belum diambil alih oleh pemerintah daerah, maka secara hukum itu masih menjadi hak guna perusahaan. 

Baca juga: Minta Pertanggungjawaban PT MSB Soal Ikan Mati di Sungai, Warga Demo Kantor Wali Kota Subulussalam

Hal tersebut menjadi celah yang dimanfaatkan pengusaha nakal untuk melakukan kegiatan semaunya meskipun belum ada izin SK perpanjangan HGU. 

Dikatakan, perusahaan berani melakukan itu karena secara perdata merasa dilindungi hukum. Dan hal inilah yang terjadi pada sebagian perusahaan di Kota Subulussalam.

Ironisnya, izin usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Kota Subulussalam ditujukan kepada Gurbernur. 

Ini pun menjadi kendala tersendiri bagi Wali Kota untuk menindak tegas karena kewenangan penindakan itu ada di Provinsi. 

Ini pula yang membuat beberapa perusahaan sawit di Kota Subulussalam seakan kebal hukum dan berbuat seenaknya karena pemerintah daerah dianggapnya tidak bisa berbuat apa-apa. 

Pemerintah daerah menurut HRB menjadi serba salah, namun bukan berarti tidak ada jalan keluar. 

Baca juga: DPRK Subulussalam Soroti PT MSB Diduga Beroperasi Tanpa Izin Penimbunan BBM, Ini Tanggapan Manajer

Lantaran itu ia melaporkan ke Kementerian dan meminta bantuan pusat yang dinilainya sebagai langkah strategis. 

"Ini adalah bentuk tindakan saya sebagai Wali Kota Subulussalam dalam melindungi hak-hak warganya agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan korporasi," tegas HRB.

Berkaitan dengan PT Laot Bangko, pelanggaran yang mereka lakukan sudah jelas. 


Apa yang dilakukan Wali Kota Subulussalam sudah benar.

Sebagai Ketua Gugus Tugas Reformasi Agraria, HRB telah berkoordinasi dengan Forkopimda dan para tokoh daerah untuk membahas masalah ini dan mengumpulkan data lapangan tentang pelanggaran. 

Di hadapan Sekjen ATR/BPN, HRB memohon kepada Kementerian untuk membantu memberikan pendampingan untuk menghadapi perusahaan.

Ini dilakukan karena untuk menghadapi perusahaan besar harus memiliki kekuatan yang besar pula. 

Perusahaan berani melanggar karena mereka merasa kuat secara permodalan dan menguasai celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan.

Harus diakui bahwa perusahaan lebih pandai dalam pemahaman Peraturan dan Undang-Undang, namun hal itu mereka lakukan untuk mencari celah yang dapat dimanfaatkan demi keuntungan sendiri. 

Mereka memiliki modal (kapital) yang kuat untuk menggaji orang-orang yang dapat diajak kerja sama melakukan kecurangan. 

Maka menjadi keharusan bagi para pemangku jabatan dan warga Kota Subulussalam agar mendalami Peraturan dan Undang-Undang tersebut agar tidak menjadi korban dan selalu dimanfaatkan. 

Langkah HRB melaporkan PT Laot Bangko ini berkaitan konflik dengan masyarakat.

Saat ini perusahaan perkebunan PT Laot Bangko sedang melakukan kegiatan pemaritan batas lahan Hak Guna Usaha (HGU) miliknya. 

Namun, aktivitas tersebut menuai sorotan publik karena dilakukan tanpa melibatkan unsur Pemerintah Kota Subulussalam, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan instansi teknis lainnya seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Kegiatan pemaritan ini disebut-sebut berlangsung secara sepihak oleh pihak perusahaan.

Padahal keterlibatan BPN sangat krusial untuk memastikan keakuratan titik koordinat dan peta batas lahan melalui proses overlay.

Pengecekan titik koordinat sangat penting, baru kemudian dilakukan overlay ke peta untuk memastikan bahwa batas lahan HGU sesuai dengan izin yang berlaku.

Kegiatan sepihak PT Laot Bangko ini juga sebelumnya mendapat tanggapan kritis dari Anggota Komisi A DPRK Subulussalam, Ardhi Yanto alias Toto Ujung. 

Ia menyayangkan tidak adanya keterlibatan pemerintah daerah, BPN, pemerintah desa, maupun masyarakat sekitar dalam proses pembangunan parit.

Ia mendesak pemerintah untuk segera memanggil pihak perusahaan dan menghentikan sementara kegiatan tersebut hingga ada kejelasan batas lahan yang sah dan hasil musyawarah bersama.

“Pemerintah wajib hadir sejak awal, bukan setelah timbul masalah. Parit yang dibangun harus dipastikan tidak membahayakan dan tidak mengganggu hak masyarakat,” tegasnya.

Toto juga menyampaikan adanya laporan dari masyarakat terkait perubahan batas lahan setelah terbitnya izin baru PT Laot Bangko. 

Dikatakan, sejumlah lahan warga yang sebelumnya berada di luar areal HGU kini dinyatakan masuk ke dalam konsesi perusahaan, yang dinilai rawan menimbulkan konflik.

Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lahan, serta menuntut peran aktif pemerintah dalam melindungi hak-hak masyarakat.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Laot Bangko belum memberikan tanggapan resmi atas sorotan dan desakan berbagai pihak. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved