Jurnalime Warga

Pudarnya Kesantunan Berbahasa pada Remaja

Bagaimana bisa kata-kata kasar, kotor, caci maki, ejekan, serta tidak pantas berhamburan pada setiap momen percakapan.

Editor: mufti
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
NELLIANI, M.Pd., Guru SMAN 1 Baitussalam, Aceh Besar, melaporkan dari Aceh Besar 

NELLIANI, M.Pd., Guru SMAN 1 Baitussalam, Aceh Besar, melaporkan dari Aceh Besar

Sepertinya, kesantunan berbahasa mulai pudar di kalangan anak dan remaja zaman sekarang. Bila serius mencermati gaya komunikasi mereka sehari-hari, kita terpaksa mengelus dada. Bagaimana bisa kata-kata kasar, kotor, caci maki, ejekan, serta tidak pantas berhamburan pada setiap momen percakapan. Tutur atau ucapan yang harusnya dihindari malah dianggap normal-normal saja, seolah tidak ada yang salah dengan itu semua.

Coba sejenak kita perhatikan gaya bicara remaja zaman now. Memanggil teman bukan lagi dengan panggilan baik, tetapu dengan sebutan kasar seperti, “Hai bodoh, sini lu”, “udah dibilangin gak paham juga, goblok”, tolol, bego, dan sesekali nama-nama hewan pun terseret. Mirisnya, tidak jarang kata-kata tersebut merendahkan ras, gender, bahkan berorientasi seksual.

Fenomena itu juga merambah media sosial. Berbagai komentar di instagram, facebook, X, tiktok tidak luput dari ujaran yang jauh dari nilai-nilai kesantunan. Tidak saja saat mengomentari informasi yang kurang mengenakkan, sekedar mengekspresikan rasa kagum, meluapkan perasaan atau bentuk solidaritas di antara sebaya pun disuarakan dengan ucapan yang tidak patut. Seperti, “Sialan, ini orang hebat banget, iri gue.”

Di lingkungan pendidikan yang ‘notabene’ zona membangun moral dan karakter, pemandangan meresahkan ini juga ditemukan. Di ruang kelas, saat proses pembelajaran, bahkan di hadapan guru. Alih-alih menjaga sikap dan kelakuan, anak-anak ini sembarangan saja memilih kata-kata, tidak merasa segan, malu, apa lagi takut. Seakan ini suatu yang keren dan kekinian.

Bagi generasi tempo dulu, gaya komunikasi ala anak gaul ini sangat tidak santun, tidak beradab, atau kurang etis. Namun, di kalangan Gen Z hal itu sudah menjadi kenormalan. Dulu orang marah bila dipanggil bukan dengan namanya. Apalagi ucapan yang mengusik harga diri dan kehormatan. Andai terjadi, perdebatan pun tak terhindar. Namun, sekarang berbeda, lawan bicara menganggap itu hal biasa, tidak ada yang perlu diributkan, sudah sama-sama paham.

Lebih mengherankan lagi jika anak yang berbicara sopan atau coba menegur temannya supaya lebih sopan, maka siap di-bully atau dirisak secara verbal. Ia akan mendapatkan label sok santun, nggak gaul, kampungan, atau sederet julukan aneh lainnya. Ia akan tersisih karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan gaya kelompoknya.

Yang memengaruhi

Remaja merupakan kelompok usia dengan karakteristik unik. Berada pada fase transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa membuat remaja mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Misal, ikut-ikutan bertutur kasar, tidak sopan atau melakukan hal-hal bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Dilansir dari berbagai sumber, beberapa faktor turut memengaruhi penggunaan bahasa tidak sopan pada remaja, antara lain, keluarga, grup sebaya, media sosial, serta kontrol diri yang lemah.

Komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anak di rumah berimbas terhadap cara anak membangun interaksi sosialnya di luar rumah. Seorang anak adalah peniru ulung. Ia akan mencontoh apa yang dilihat, didengar, dan dialami dengan baik. Jika figur terdekatnya di rumah sering menggunakan hardikan, hinaan, atau umpatan maka ia cenderung mengadopsi pola tersebut ketika bersosialisasi dengan orang lain di luar rumah.

Tidak saja membentuk gaya bicara, komunikais buruk orang tua dengan anak juga mewarnai perilakunya. Anak menjadi agresif, senang mengganggu teman, emosian, serta sulit diatur. Hal itu akan menghambat proses belajar di sekolah, karena anak-anak demikian biasanya tidak mudah beradaptasi dengan aturan sekolah hingga kesulitan menghargai latar belakang teman yang beragam.

Lingkungan sebaya memainkan peran membangun keterampilan berbahasa anak. Anak akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan temannya agar diterima dan dianggap. Jika dalam komunitas sebaya terbangun interaksi tidak sehat, maka besar kemungkinan ia tidak dapat menolaknya. Oleh karena itu, penting bagi orang tua mengenal lingkungan pergaulan anak untuk memastikan ia berada di tempat yang benar dan terhubung dengan pribadi-pribadi yang tepat.

Pergaulan yang positif turut membentuk kepribadian positif maupun sebaliknya. Anak rajin belajar, gemar berolahraga, berbahasa santun karena mengikuti kebiasaan circle-nya. Sebaliknya, ia suka membantah, tidak sopan, atau malas belajar akibat melihat kebiasaan kelompoknya. Bimbingan orang tua dibutuhkan agar dapat mengarahkannya berada di koridor yang benar dan tidak menyimpang dari norma yang ada.

Pengaruh selanjutnya hadir dari media sosial. Media sosial menjadi platform yang mempercepat penyebaran budaya berbahasa tidak santun. Tidak sedikit konten/video atau film berisi kata-kata tidak patut dikonsumsi oleh anak dan remaja. Kata-kata itu dipopulerkan secara vulgar oleh influencer atau 'public figure' yang diidolakan anak-anak muda. Minimnya literasi menyebabkan mereka meniru, lalu dengan bangga mempraktikkan tanpa memahami akibat dari tindakan tersebut.

Kecenderungan berbicara tidak sopan juga dipengaruhi oleh kontrol diri yang lemah. Menurut Baumeister & Boone (2004), kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam menentukan perilakunya sesuai standar tertentu, seperti moral, nilai-nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat sehingga mengarah pada perilaku positif. Individu dengan kontrol diri lemah akan kesulitan mempelajari, memahami, dan membedakan perilaku yang dapat diterima atau sebaliknya. Ia mudah agresif, melakukan tindakan berisiko tanpa memikirkan dampaknya.

Anak dengan kontrol diri lemah mudah terseret dalam perilaku buruk akibat pengaruh lingkungan. Meskipun sadar tindakan itu tidak baik, tetapi ia “terpaksa” menerima dominasi tersebut. Misal, anak paham bicara kasar adalah tidak sopan. Namun, ia tidak kuasa menolak untuk tidak meniru gaya komunikasi komunitasnya karena ia butuh mereka.

Dampak negatif

Hanya karena ingin mendapatkan pengakuan pertemanan sebaya, remaja sering kali mengenyampingkan efek jangka panjang dari budaya baru ini. Padahal, gaya komunikasi tidak sehat ini berdampak negatif bagi diri, hubungan sosial, dan kelestarian bahasa Indonesia sendiri. Selain merusak citra diri, kebiasaan menggunakan bahasa kasar dapat mengikis keharmonisan sebuah hubungan karena bisa jadi lawan bicara tersinggung, tidak nyaman, atau merasa tidak dihargai.

Remaja yang terbiasa berbicara kasar bukan tidak mungkin mendapatkan sanksi sosial dari lingkungan. Orang-orang akan menganggapnya sebagai pribadi tidak beradab, tidak beretika, atau kurang pendidikan. Selain itu, perilaku tersebut dapat menghambat peluang mendapatkan pekerjaan.

Pergeseran adab berbahasa dalam pergaulan remaja masa kini kian meresahkan. Fenomena tersebut penting mendapat perhatian bersama sebagai tanggung jawab kolektif merawat kelestarian bahasa Indonesia dan menjaga etika berbahasa generasi muda. Dimulai dari ranah keluarga, sekolah, masyarakat, serta pemerintah perlu mengupayakan langkah-langkah edukatif menuju arah tersebut. Sikap permisif kita hanya akan memperkuat kecenderungan anak-anak ini berbicara tidak patut, yang dikhawatirkan akan menjadi identitas komunikasi yang dianggap wajar. Tentu bukan harapan kita budaya santun yang merupakan warisan luhur nenek moyang (indatu) kita punah oleh perilaku pribadi-pribadi yany tidak bertanggung jawab.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved