Jurnalime Warga
Tetralogi sebagai Paradigma Baru di Ruang Kelas
Bahkan, saya setidaknya dua kali terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba mata pelajaran IPS tersebut antarsekolah se-Jakarta
MELINDA RAHMAWATI, M.Pd., alumnus Pendidikan IPS, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Jakarta
Sudah sangat lama saya belajar tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Mulai dari tingkat SD sampai SMA, saya hampir dapat menghafal alur pembahasan di setiap tingkatannya. Bahkan, saya setidaknya dua kali terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba mata pelajaran IPS tersebut antarsekolah se-Jakarta pada tahun 2013 dan 2014.
Namun, baru pada tingkat SMA saya mewakili sekolah untuk ikut serta dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) Bidang Geografi selama dua tahun berturut-turut pada tahun 2015 dan 2016. Tidak sedikit orang yang bertanya mengapa saya menyukai mata pelajaran itu? Sebuah mata pelajaran yang bukunya saja paling tebal di antara buku mata pelajaran yang lain pada kurikulum saat itu.
Saat itu, saya hanya menjawab dengan senyum hangat tanpa memberikan penjelasan. Kini, saya akan mencoba untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang tiada henti ditanyakan itu.
Jika kita melihat kembali pada hakikat “Social Studies” yang dikemukakan oleh National Council for Social Studies (NCSS), secara filosofis cabang ilmu ini menunjukkan identitasnya sebagai berikut “Social studies is the study of individuals, communities, systems, and their interactions across time and place that prepares students for local, national, and global civic life.” Dapat diartikan bahwa “Ilmu sosial adalah studi tentang individu, komunitas, sistem, dan interaksi mereka di seluruh waktu dan tempat yang mempersiapkan siswa untuk kehidupan kewarganegaraan lokal, nasional, dan global.”
Saat kita melihat berbagai teori yang dikemukakan oleh M Scriven dalam “The Structure of The Social Studies”, James A. Banks dalam “Teaching Teaching Strategies for the Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision-Making”, dan Peter H. Martorella dalam “Teaching Social Studies in Middle and Secondary Schools”, pada dasarnya menyatakan bahwa IPS dan pembelajaran IPS sejatinya mengarahkan pada sebuah situasi yang memosisikan peserta didik untuk memotret fenomena sosial di sekitarnya, menganalisis fenomena yang dipotretnya, dan dilatih untuk membuat upaya sederhana dalam memandang, menyikapi, dan merefleksikan fenomena yang dianalisisnya.
Di saat peserta didik diposisikan untuk terlibat aktif atau setidaknya diminta untuk mengamati satu fenomena sosial saja di sekitar mereka, guru tersebut telah memulai pembelajaran IPS yang tidak sekadar memindahkan pengetahuan dari buku pelajaran ke dalam pikiran peserta didiknya.
Lebih jauh, guru tersebut sudah mendorong peserta didiknya untuk sadar dengan tanggung jawabnya sebagai makhluk sosial, anggota masyarakat, dan mulai menumbuhkan kesadaran sosial yang nantinya akan mengakar.
Sebagai turunan dari rumpun ilmu sosial, IPS tidak terlepas dari cabang ilmu sosial yang lain, seperti sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan lainnya. Namun, perlu diperhatikan bersama bahwa antarcabang ilmu sosial itu saling memiliki keterhubungan dan dapat saling terintegrasi. Guna memahami keterhubungan dan integrasi antarcabang ilmu tersebut, saya coba membingkainya dalam sebuah paradigma tetralogi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI, kata “tetralogi” memiliki arti empat hal yang saling bertaut dan saling bergantung. Apakah kita sadar selama ini antara sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi, atau antropologi itu saling berkaitan dalam kehidupan sehari-hari? Tujuh unsur kebudayaan yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat, yakni: bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian tidak lepas dari cabang ilmu sosialnya masing-masing.
Sebuah kebudayaan milik kelompok masyarakat hadir dengan memuat unsur geografi teritorial tempat mereka bermukim. Termasuk di dalamnya sistem ekonomi yang berlangsung turut mengikuti teritorialnya. Kelompok masyarakat tersebut sebagai makhluk sosial menjalani kehidupannya secara bersama dengan ketergantungannya, kemudian merekam fase kehidupan yang dijalaninya dalam sebuah catatan sejarah.
Kompleksitas tersebut, menurut saya, sudah saatnya disampaikan kepada peserta didik dengan lebih aktual dan saling terintegrasi. Penyampaian yang lebih sederhana dan tidak sekadar memindahkan pengetahuan dari buku teks ke alam pikir peserta didik perlu dikembangkan lebih lanjut. Secara sederhana saya coba memberikan penggambaran sebagai berikut: saat saya berupaya mempelajari entitas dari masyarakat Aceh, saya harus menyadari lebih dulu bahwa masyarakat Aceh terbiasa berdagang. Aktivitas berdagang tersebut hadir disebabkan teritorial daerah Aceh sebagai pintu masuk menuju Pelabuhan Malaka yang menjadi pusat perdagangan sejak berabad-abad silam.
Sebagai daerah yang termasuk dalam kawasan perdagangan internasional, saya tidak akan heran ketika melihat keterbukaan masyarakat Aceh dengan para pendatang dari berbagai pelosok negeri. Sifat keterbukaan tersebut yang diinterpretasikan melalui berbagai karya seni, nilai sosial, dan kearifan lokal dari masyarakat Aceh itu sendiri. Artinya, hanya dengan melihat satu kelompok masyarakat saja, saya dapat terhubung dengan berbagai cabang ilmu sosial.
Puncaknya, ketika saya mengklasifikasikan temuan tersebut dalam empat cabang ilmu sosial yang menopang pembelajaran IPS, sangat terlihat bahwa semua aktivitas sosial tersebut saling berkaitan. Selanjutnya dapat dijelaskan secara aktual integrasi yang terjadi di antaranya pada masa kini.
Saat ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI tengah mendorong pemutakhiran pembelajaran melalui pembelajaran mendalam (deep learning). Pemutakhiran tersebut sejatinya mengarahkan pembelajaran di kelas agar lebih menekankan pada kesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.