Kupi Beungoh

Rakyat, Qurban, dan Pemimpin: Menyembelih Ego, Menyulam Cinta

perayaan Idul Adha terasa lebih bermakna bagi rakyat Aceh, yang baru saja menatap lembaran baru dengan hadirnya pemimpin-pemimpin baru

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

DUA hari lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Hari Raya Idul Adha--sebuah momentum agung yang melampaui sekadar ritual penyembelihan hewan qurban.

Di balik gema takbir dan semangat berbagi, tersembunyi pesan-pesan luhur tentang keikhlasan, pengorbanan, dan kepemimpinan moral. 

Tahun ini, perayaan Idul Adha terasa lebih bermakna bagi rakyat Aceh, yang baru saja menatap lembaran baru dengan hadirnya pemimpin-pemimpin baru di berbagai tingkatan. 

Dalam suasana ini, menjadi penting bagi kita untuk merenungkan kembali makna kekuasaan dalam ajaran qurban: apakah kepemimpinan itu sebuah hak istimewa, ataukah ia justru amanah berat yang menuntut pengorbanan demi kebaikan rakyat?

Aceh hari ini seperti bumi yang baru saja disirami hujan. 

Lembab dan segar, tapi juga menyimpan aroma tanah yang lama terpendam. 

Negeri yang dulu bergetar oleh gelombang sejarah, kini berdiri di persimpangan: antara harapan yang menua dan kenyataan yang tak selalu seindah janji. 

Di negeri ini, pemimpin datang silih berganti, seperti musim yang bergulir. 

Mereka datang membawa janji, membisikkan kata-kata manis yang menghangatkan hati rakyat. 

Namun sering, kata-kata itu tak sempat berakar sebelum musim baru datang menghapusnya.

Di tengah ruang-ruang kota, di lorong-lorong kampung, qurban hadir lagi. 

Aroma anyir daging segar menguar dari halaman masjid, dari balai-balai gampong. 

Qurban bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga pengingat yang tajam: bahwa memberi bukan soal seberapa banyak, tapi seberapa tulus. 

Bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang memotong daging qurban di depan kamera, tetapi mereka yang hadir dalam sepi rakyat, yang mendengar keluh yang tak sempat terucap.

Aceh hari ini masih menyimpan sisa-sisa luka masa lalu, tetapi juga mengandung harapan yang tak padam. 

Di pasar-pasar yang ramai, di tambak-tambak yang menggantungkan nasib, di sawah-sawah yang menanti hujan, rakyat menyimpan harapan sederhana: pemimpin yang tak hanya berjanji, tetapi juga menepati. Yang tak hanya datang saat kampanye, tetapi juga hadir saat rakyat menunggu.

Qurban mengajarkan itu. Tentang pengorbanan yang bukan sekadar memotong hewan, tapi memotong ego, memotong keinginan diri, memotong ambisi pribadi demi kemaslahatan bersama. 

Di Aceh, di mana sejarah dipahat oleh darah dan doa, qurban seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuasaan bukan milik siapa pun, melainkan amanah yang harus ditunaikan.

Mengalirkan Pengorbanan

Di balai gampong yang sederhana, seorang pemuda mengamati hewan qurban yang baru saja disembelih. 

Darah mengalir di tanah yang basah, meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus. 

Ia berpikir, “Beginilah seharusnya pemimpin--berani mengalirkan pengorbanan, menumpahkan ego, demi kehidupan yang lebih adil bagi semua.” 

Tapi berapa banyak pemimpin hari ini yang benar-benar menunduk seperti hewan qurban itu? Yang dengan ikhlas melepaskan haknya, yang rela kehilangan demi rakyat?

Aceh hari ini butuh pemimpin yang bukan hanya bicara di depan mimbar, tapi juga hadir di tengah hujan deras, menampung keluh kesah rakyat. 

Yang bukan hanya membuat janji, tapi juga menepatinya. 

Yang bukan hanya bagi-bagi daging qurban setahun sekali, tapi juga membagi keadilan, membagi perhatian, membagi kesempatan, setiap hari.

Qurban mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan soal kemegahan. 

Bukan soal gelar panjang atau jabatan tinggi. 

Ia soal hati yang rela berbagi, soal tangan yang mau membuka, soal kaki yang mau melangkah ke gampong-gampong terpencil, mendengar keluh tanpa kamera, tanpa sorakan. 

Aceh menunggu pemimpin seperti itu. 

Pemimpin yang hadir bukan untuk diri sendiri, tapi untuk semua.

Di tengah jalanan Banda Aceh yang sibuk, di pasar Paya Ilang di Takengon, di pedalaman Meungamat Aceh Selatan, desa-desa Biak Muli, Bambel Aceh Tenggara yang penuh warna, di TPI Idi Aceh Timur, dan Kuala Bubon Aceh Barat yang menatap laut lepas, rakyat menunggu tanda. 

Mereka menunggu pemimpin yang tak hanya pandai berkata, tapi juga pandai menepati. 

Yang mengerti bahwa janji adalah hutang nurani. 

Yang tahu bahwa kekuasaan bukan hak, melainkan amanah. 

Yang memahami bahwa rakyat bukan angka dalam kotak suara, tapi manusia yang butuh perhatian, butuh keadilan.

Qurban datang setiap tahun sebagai pengingat: memberi bukan soal besar atau kecil, tapi soal ketulusan. 

Pemimpin yang baik bukan yang membagi daging setahun sekali, tapi yang membagi keadilan sepanjang tahun. 

Yang hadir bukan hanya di depan kamera, tapi juga di balik layar kehidupan rakyat. 

Yang mengerti bahwa membagi bukan untuk dipuji, tapi karena cinta.

Aceh hari ini berdiri di persimpangan: antara modernitas yang menggoda dan tradisi yang mengakar. 

Antara cita-cita besar dan kenyataan yang kadang mengecewakan. 

Di tengah itu, qurban datang mengajarkan kesejatian: bahwa pengabdian adalah jalan sunyi, jalan yang tak selalu disambut tepuk tangan. 

Bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang berani kehilangan, berani melepas, berani menyembelih ego demi cinta.

Di bawah langit Aceh yang biru, di antara kubah masjid yang menjulang dan rumah-rumah panggung yang bersahaja, qurban berbisik pada kita: “Beranikah engkau menjadi pemimpin yang menunduk? Yang hadir bukan untuk dipuja, tapi untuk mengabdi? Yang mampu menyulam cinta, bukan hanya janji?”

Rakyat Aceh, dengan segala sederhana dan kekuatannya, hanya meminta satu hal: pemimpin yang hadir dengan hati. 

Yang menunduk bukan karena kalah, tapi karena cinta. 

Yang menyembelih bukan hanya hewan, tapi juga ego. 

Yang memimpin bukan hanya dengan tangan, tapi dengan hati yang rela terbuka.

Qurban adalah latihan menjadi manusia yang utuh. 

Menjadi pemimpin yang bukan hanya memerintah, tapi juga melayani. 

Yang hadir bukan hanya dalam pesta, tapi juga dalam luka. 

Yang membagi bukan hanya daging, tapi juga perhatian. 

Yang menepati janji, bukan hanya mengumbar kata.

Aceh hari ini membutuhkan pemimpin seperti itu. 

Pemimpin yang tak hanya datang saat kampanye, tapi juga hadir saat rakyat terluka. 

Pemimpin yang tak hanya bicara soal pembangunan, tapi juga bicara soal keadilan. 

Pemimpin yang tak hanya membagi materi, tapi juga membagi kasih.

Dan qurban mengajarkan kita semua: bahwa menjadi pemimpin sejati bukan soal berapa tinggi kita berdiri, tapi seberapa dalam kita menunduk. 

Bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa banyak yang kita bagi. 

Bukan soal berapa besar suara yang kita menangkan, tapi seberapa tulus kita mendengar suara rakyat.

Qurban dan pemimpin--dua kata yang saling berkait. 

Dua kata yang mengingatkan kita: bahwa kepemimpinan adalah qurban yang tak berhenti. 

Qurban yang tak hanya memotong hewan, tapi juga memotong keangkuhan diri. 

Qurban yang tak hanya hadir di musim haji, tapi setiap hari, dalam setiap keputusan, dalam setiap langkah.

Maka, mari kita belajar dari qurban di tanah Aceh ini. 

Menjadi pemimpin yang menunduk, yang menyulam cinta dalam sunyi, yang memberi bukan untuk dipuji, tapi karena cinta. 

Menjadi pemimpin yang hadir bukan hanya di depan panggung, tapi juga di balik layar. 

Pemimpin yang tak takut kehilangan, karena yang ia genggam bukan kekuasaan, melainkan kasih yang tulus.

Karena sejatinya, qurban dan kepemimpinan adalah tentang satu hal: menyembelih ego dan, menyulam cinta.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved