Opini

Catatan Kritis 100 Hari Mualem-Dek Fadh

PEMERINTAHAN baru Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fadh) telah genap berusia 100 hari pada 22 Mei 2025.

Editor: mufti
IST
Dr Hamdani M Syam MA, Dosen Pengampu Mata Kuliah Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USK 

Dr Hamdani M Syam MA, Dosen Pengampu Mata Kuliah Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USK

PEMERINTAHAN baru Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fadh) telah genap berusia 100 hari pada 22 Mei 2025. Mereka adalah pasangan yang terpilih secara demokratis dalam Pilkada 2024 dan resmi dilantik pada 12 Februari 2025 oleh Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, atas nama Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Pelantikan ini bukan sekadar seremoni politik, tapi menjadi simbol bahwa dua sosok sentral dalam perjuangan Aceh kini telah mendapat mandat penuh dari rakyat untuk memimpin Tanah Rencong untuk lima tahun ke depan.Terpilihnya Mualem-Dek Fadh sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh bukan hanya kemenangan politik semata. Melainkan juga sebuah simbol historis dari perjuangan bersenjata hingga ke kursi eksekutif. Keduanya merupakan tokoh sentral dalam Gerakan Aceh Merdeka. Mualem adalah mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan Dek Fadh adalah generasi muda eks-GAM yang sudah sepuluh tahun berkecimpung di kancah nasional sebagai anggota DPR RI.
Keduanya kini memikul ekspektasi besar dari rakyat Aceh, bahwa kekuasaan harus digunakan untuk memperjuangkan kepentingan publik, bukan sekadar membalas jasa politik.

Pada 22 Mei 2025 menandai genap 100 hari usia pemerintahan Mualem-Dek Fadh. Namun, 100 hari kerja berjalan, belum terlihat gebrakan yang benar-benar menyentuh langsung kehidupan masyarakat Aceh secara luas. Tentu saja, menilai pemerintahan hanya dari seratus hari pertama bukanlah ukuran final. Tetapi periode ini tetap penting sebagai tolak ukur awal terhadap keseriusan dalam memenuhi janji-janji yang telah dikampanyekan, kecepatan kerja, dan arah kepemimpinan yang akan dilakukan.

Mualem dan Dek Fadh tidak memulai dari titik nol. Masyarakat Aceh masih menanti langkah konkret yang bisa dijadikan indikator bahwa pemerintahan ini hadir dengan visi pembangunan yang terencana demi kesejahteraan masyarakat Aceh. Pascapenandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki pada 2005, Aceh mendapatkan status kekhususan melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan menerima Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang nilainya mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Secara teoritis, ini merupakan modal yang cukup untuk mempercepat pembangunan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat Aceh pascakonflik. Namun, setelah hampir dua dekade, Aceh masih berkutat pada indikator sosial ekonomi yang memprihatinkan. Aceh masih berada di deretan provinsi termiskin di Indonesia. Dalam konteks inilah, kepemimpinan Mualem-Dek Fadh menjadi sangat krusial.

Rakyat menaruh harapan besar agar Aceh mampu keluar dari belenggu kemiskinan dan ketertinggalan. Kepemimpinan Mualem-Dek Fadh menjadi ujian penting untuk membuktikan bahwa semangat rekonsiliasi dan perdamaian dapat diterjemahkan dalam tata kelola pemerintahan yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.

Catatan kritis

Selama 100 hari pertama, pemerintah Mualem-Dek Fadh telah membentuk tim penyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2025–2030 yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Sekarang proses penyusunan sedang berjalan, namun publikasi mengenai substansi RPJM tersebut masih sangat terbatas.

Masyarakat belum memperoleh akses informasi yang cukup mengenai visi strategis, prioritas pembangunan, serta indikator keberhasilan yang akan ditetapkan. Padahal, RPJM adalah cetak biru pembangunan lima tahun yang akan menentukan apa saja warisan atau legacy yang ingin ditinggalkan oleh kepemimpinan Mualem-Dek Fadh di akhir masa jabatan mereka untuk masyarakat Aceh. Jika ingin dibandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya, Misalnya, Gubernur Irwandi Yusuf telah mewariskan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan beasiswa dalam dan luar negeri yang membuka akses pendidikan bagi anak-anak Aceh.

Zaini Abdullah (Abu Doto) meninggalkan sejumlah infrastruktur monumental seperti pembangunan Masjid Raya Baiturrahman yang megah, jalan layang di Simpang Surabaya, jembatan Lamnyong, hingga jalan tembus antarkabupaten/kota yang mempermudah mobilitas masyarakat. Program-program tersebut menjadi referensi bahwa "legasi" seorang kepala daerah tak semata dinilai dari niat baik, tetapi dari kebijakan konkret yang berdampak langsung kepada masyarakat.

Di sisi lain, salah satu pernyataan populer Gubernur Muzakir Manaf dalam berbagai pelantikan kepala daerah adalah komitmennya untuk mengapus sistem barcode BBM Pertalite, yang dinilai merepotkan dan menyulitkan akses masyarakat terhadap subsidi energi. Namun hingga 100 hari pemerintahan, janji tersebut belum menunjukkan tanda-tanda implementasi. Ini menjadi contoh bagaimana komunikasi publik yang repetitif tanpa langkah eksekusi justru dapat menurunkan kredibilitas kebijakan di mata rakyat.

Revisi UUPA

Tantangan paling berat pemerintahan Mualem-Dek Fadh justru bukan pada hari-hari awal, tapi pada tahun-tahun ke depan. Sebab, berakhirnya Dana Otsus Aceh pada tahun 2027, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa Otsus berlaku selama 20 tahun, yaitu 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional selama 15 tahun pertama, dan 1 % selama lima tahun terakhir.

Setelah 2027, belum ada kepastian hukum apakah Dana Otsus akan berlanjut. Padahal, pembangunan Aceh masih sangat tergantung pada anggaran tersebut. Karenanya, revisi UUPA menjadi pekerjaan strategis yang harus dilakukan. Maka pada 23 Mei 2025, DPRA telah menyerahkan dokumen final revisi UUPA ke Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. Namun upaya revisi UUPA harus dilihat bukan hanya untuk memperjuangkan kelanjutan Dana Otsus, tetapi juga untuk menguatkan kekhususan Aceh secara substantif.

Proses politik dan hukum ini merupakan momentum penting, yang harus dimanfaatkan oleh Mualem-Dek Fadh untuk kepentingan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keduanya dikenal memiliki kedekatan politik dengan Presiden Prabowo Subianto, dan kedekatan ini seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong agenda strategis Aceh di tingkat nasional melalui momentum revisi UUPA.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved