Jurnalisme Warga

Cinta Pertama Anak Gadis Adalah Ayahnya

Besok atau lusa, Darussalam akan kembali riuh oleh lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi. Seperti arus pasang yang datang tanpa perlu diundang

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Rustami ST adalah warga kopelma asal Glee Siblah-Woyla. 

Oleh: Rustami ST*)

Catatan dari Seorang Perantau Tua di Kopelma Darussalam

SAYA tinggal di Kopelma Darussalam sudah lama. Terlalu lama malah. 

Sampai-sampai anak-anak muda yang dulu saya kenal waktu jadi mahasiswa, kini sudah punya anak yang mondok di dayah dekat terminal. 

Bagi kami para perantau tua, Darussalam bukan sekadar tempat belajar, melainkan tempat belajar tentang hidup. Tentang cita-cita, dan sesekali, tentang kehilangan.

Libur panjang semester ini terasa hening. Tapi sebentar lagi suasana akan berubah. 

Besok atau lusa, Darussalam akan kembali riuh oleh lalu-lalang mahasiswa dan mahasiswi. Seperti arus pasang yang datang tanpa perlu diundang. 

Mereka berdatangan dengan koper besar, semangat baru, dan kadang cinta yang belum sembuh dari semester lalu.

Dari beranda kamar kontrakan, saya menyaksikan pemandangan kalau boleh jujur yang membuat prihatin dan kasihan. 

Anak-anak perempuan berjalan malam-malam dengan dandanan yang lebih cocok untuk konser daripada untuk kuliah. 

Mereka tertawa keras, boncengan motor, menghilang ke lorong-lorong remang. Hati tua ini bertanya, “Di mana ayah mereka?”

Lalu saya mengingatkan diri sendiri, mungkin ayah mereka ada. Tapi tidak hadir.

Kita terlalu sering mengira bahwa tugas utama orang tua adalah menyekolahkan anak. 

Bahwa kalau sudah kuliah di kota, sudah dapat kos yang aman, dan sudah dikirimi uang setiap bulan, maka tanggung jawab selesai. 

Sayangnya, cinta tidak bekerja seperti transfer bank. Ia tidak bisa disalurkan lewat ATM. Cinta butuh kehadiran. 

Ia perlu percakapan, pelukan, perhatian, dan rasa bahwa anak perempuan kita punya rumah untuk pulang sebelum dunia sempat menjeratnya.

Saya percaya, banyak anak gadis terjerumus bukan karena bodoh, tapi karena kosong. 

Kosong dari telinga yang mau mendengar. 

Kosong dari sosok laki-laki pertama yang bisa diteladani. 

Kosong dari cinta yang sehat dari ayahnya sendiri. 

Karena ketika rumah gagal memperkenalkan cinta sejati, maka jalanan akan menawarkan versi palsunya.

Cinta pertama anak gadis harus datang dari ayahnya. 

Bukan dari pacar pertamanya, bukan dari ponsel pintar, dan bukan dari puisi basi di status WhatsApp. Dari ayah. Laki-laki pertama yang menggendongnya. Yang memanggilnya “putri” meski rumah tak punya balkon.

Saya punya teman, tukang becak di Lampineung. 

Setiap sore ia menjemput anak gadisnya dari sekolah. 

Si gadis duduk di jok depan, bukan di belakang. 

“Biar dekat sama Abiya,” katanya. 

Saya percaya, anak itu tidak mudah ditipu lelaki manis-manis. 

Karena ia sudah kenyang dengan kasih sayang yang manis dari rumah.

Dari situ saya tahu. Benteng pertama dari pergaulan bebas, pelecehan seksual, dan narkoba bukanlah polisi, bukan pula kamera pengintai. Tapi ayah di rumah. 

Jangan semua diserahkan ke ibu. Jangan semua dibebankan pada pengajian mingguan. 

Seorang ayah harus ambil peran. Tidak perlu jadi ustaz. Cukup jadi ayah yang hadir dan mengerti.

Kita tak bisa mengurung anak selamanya. Tapi anak yang tumbuh dengan cinta yang cukup, tidak akan tumbuh dengan dahaga. 

Ia tidak akan asal minum dari sungai keruh. Ia akan memilih, karena ia tahu seperti apa rasa air yang jernih.

Sebagian dari mereka yang terjebak gaya hidup hedonis hari ini, awalnya hanya ingin tampil lebih gaul dari teman-teman satu kos. 

Tapi ketika cinta dari rumah tipis, dan tuntutan gaya hidup lebih besar dari kiriman bulanan, maka tak sedikit yang akhirnya melangkah terlalu jauh. Bahkan jatuh ke dunia hitam, jadi wanita malam.

Maka kepada para ayah di luar sana, sebelum anak gadismu kembali ke kampus, kembali ke kota, kembali ke Kopelma dan sekitarnya, temuilah mereka. Bicara. Dengarkan. Tatap matanya. Beri satu pelukan, sebelum ia mencari pelukan dari orang yang salah.

Dan jika musibah itu sudah terjadi, jika anak gadismu jatuh ke jurang yang dalam, jangan pertama-tama mengutuk anak. 

Jangan buru-buru menyalahkan zaman atau lingkungan. Tanyakan dulu pada diri sendiri: apakah aku hadir dalam hidupnya, atau hanya hadir ketika marah?

Kadang musibah bukan datang dari buruknya anak. 

Tapi dari kelalaian orang tua yang terlalu sibuk jadi pahlawan di luar rumah, lupa bahwa anak gadisnya juga butuh pahlawan yang bernama Abi.

Kalau cinta pertama anak gadis adalah ayahnya, maka cinta-cinta sesudahnya akan ditakar dengan benar. 

Ia akan tahu bagaimana dicintai tanpa dilecehkan. Ia akan tahu bahwa cinta tak datang dari rayuan, tapi dari kehadiran dan keteladanan.

Jika Anda membaca ini dan merasa tersentil, anggap saja ini surat dari sesama ayah. 

Dari satu laki-laki tua di Darussalam, kepada para orang tua di seluruh Aceh dan Nusantara.

Mari pulangkan cinta anak-anak kita ke rumah. Sebelum dunia menjemput mereka lebih dulu. 

Karena jika itu terjadi, tak ada kata yang lebih pahit dari seorang ayah selain, “Seandainya dulu aku lebih hadir...”

*) Penulis adalah warga kopelma asal Glee Siblah-Woyla

Email: kontak@dekruhsarena.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved