Kupi Beungoh
Dilema Zakat sebagai PAD atau Non PAD : Peluang dan Tantangan di Aceh
Jika zakat dikelola oleh pemerintah daerah, ada risiko bahwa dana tersebut tidak akan digunakan sesuai dengan prinsip syariah
Badan Baitul Mal ini bertugas melaksanakan pengelolaan zakat, pembinaan muzakki (pemberi zakat) dan mustahiq (penerima zakat), serta pemberdayaan harta agama sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Baitul Mal Aceh merupakan salah satu lembaga keistimewaan Aceh yang diharapkan independen dalam
mengelola zakat, harta wakaf, harta agama, serta harta perwalian.
Baca juga: Zakat sebagai Pengurang Pajak Akan Diatur Melalui Peraturan Pemerintah
Meskipun zakat telah ditetapkan sebagai PAD dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, upaya untuk memperjelas statusnya sebagai PAD Khusus
menghadapi berbagai kendala.
Awalnya, penyelesaian pembukuan zakat dalam perhitungan APBA tahunan diupayakan melalui mekanisme pos transito.
Namun, rancangan Qanun tentang Baitul Mal yang mengusulkan zakat sebagai PAD Khusus ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 hanya menyebutkan PAD secara umum.
Konsisten dengan hal ini, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2008 juga tidak mencantumkan zakat sebagai PAD Khusus, sejalan dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007.
Lebih lanjut, DPR-Aceh menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Syariah dari bagian Qanun, mengalihkan fungsi tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Selain itu, pembentukan Sekretariat sebagai bagian dari SKPD pemerintah Aceh dalam struktur Baitul Mal
menciptakan tiga unsur pelaksana, yang menyebabkan struktur kelembagaan menjadi kurang responsif.
Dengan demikian, upaya untuk memperjelas status zakat sebagai PAD Khusus di Aceh menghadapi tantangan signifikan, termasuk penolakan dari DPRA dan kompleksitas struktur kelembagaan Baitul Mal.
Pencantuman zakat sebagai salah satu penerimaan PAD, dalam berbagai ketentuan perundangundangan dengan segala akibat hukum yang melekat, khususnya peraturan pengelolaan keuangan daerah, dianggap bertentangan dengan esensi zakat yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an, disamping Al-Hadits dan penjabaran dalam fiqh zakat sesuai dengan masanya.
Baca juga: Wagub Aceh Naik Ojek ke Kementerian, Perjuangkan Dana Otsus Hingga Zakat Sebagai Pengurang Pajak
Untuk mempertemukan kedua prinsip dasar yang saling bertentangan tersebut, diperlukan solusi yang arif dan bijaksana melalui penetapan Zakat sebagai PAD-Khusus.
Di satu sisi, menganggap zakat sebagai PAD dapat memberikan keuntungan bagi daerah. Dengan pengelolaan yang baik, zakat dapat menjadi sumber pendanaan yang signifikan untuk programprogram sosial dan pembangunan infrastruktur.
Misalnya, dana zakat dapat digunakan untuk mendukung pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Hal ini sejalan dengan prinsip zakat yang bertujuan untuk membantu mereka yang kurang mampu dan
menciptakan kesejahteraan bersama.
Namun, Memasukkan zakat ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD) menimbulkan tantangan signifikan, terutama terkait dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah dan kepercayaan masyarakat.
Independensi OJK : Kunci Masa Depan Bank Aceh Syariah dan Kepercayaan Publik |
![]() |
---|
26 Tahun Keistimewaan Aceh: Menyoal Keseriusan Pemda-DPRA dalam Mengembalikan Kejayaan Pendidikan |
![]() |
---|
Buku dan Membaca: Antara Cetak, Digital, dan Politik Jalan Tengah |
![]() |
---|
ASN Pelayan Masyarakat |
![]() |
---|
Analisis Sentimen Dua Dasawarsa Perdamaian Aceh dengan Pendekatan Text Mining |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.