Ibadah Haji 2025

Apa Saja Nilai-Nilai yang Menunjukkan Kemabruran Seorang Jamaah Haji? Simak Penjelasan Berikut

Lantas, apa saja nilai-nilai yang menunjukkan seorang jamaah haji itu mencapai predikat mabrur dan mabrurah?

Penulis: Jamaluddin | Editor: Eddy Fitriadi
ISTIMEWA  
TGK SULFANWANDI HASAN - Pimpinan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Raudhatul Qur’an, Tungkop, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Abu Dr Tgk H Sulfanwandi Hasan MA, menjelaskan tentang nilai-nilai yang menunjukkan kemabruran seorang jamaah haji. 

SERAMBINEWS.COM - Seluruh rangkaian pelaksanaan ibadah haji 1446 Hijriah atau 2025 Masehi--mulai dari ibadah utama di Padang Arafah, terus bersambung ke Muzdalifah dan Mina, serta syarat dan rukun haji lainnya--sudah selesai dikerjakan oleh jutaan jamaah dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia dan Aceh.

Bahkan, jamaah haji Indonesia sudah mulai kembali ke Tanah Air sejak Selasa (11/6/2025).

Pemulangan itu akan berlangsung secara berangsur-angsur hingga pertengahan Juli mendatang.

Usai melaksanakan rukun Islam yang kelima tersebut, hanya satu yang diharapkan oleh setiap jamaah haji.

Harapan dimaksud adalah menjadi haji yang mabrur dan mabrurah.

Lantas, apa saja nilai-nilai yang menunjukkan seorang jamaah haji itu mencapai predikat mabrur dan mabrurah?

Terkait hal tersebut, simak penjelasan Pimpinan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah atau KBIHU Raudhatul Qur’an, Tungkop, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Abu Dr Tgk H Sulfanwandi Hasan MA.

Menurut Tgk Sulfanwandi yang saat ini sedang berada di Mekkah Al Mukarramah, mabrurnya ibadah haji seseorang bukan hanya diukur dari selesai melaksanakan serangkaian syarat dan rukun ibadah haji saja, tapi kemabruran ibadah haji juga sangat ditentukan oleh nilai dan hikmah yang terkandung dalam ibadah haji itu sendiri dapat direalisasikan dalam kehidupan serta tercermin secara efektif dalam sikap dan perilaku kehidupan sehari-hari setelah kembali dari melaksanakan ibadah haji.

Haji, sebut Tgk Sulfanwandi, merupakan ibadah multidimensi, multiaksi, dan multinilai.

Haji itu, sambungnya, juga kaya pelajaran moral, pendidikan nilai, dan inspirasi.

Abu lulusan Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan, dan Dayah Budi, Lamno, Aceh Jaya ini mengungkapkan, banyak nilai yang terdapat dalam ibadah haji sehingga terbangun sebuah mental dan kepribadian yang suci sebagai makna dan hakikat dari mabrur itu sendiri.

Nilai tersebut, kata Tgk Sulfanwandi, antara lain seperti di bawah ini:

Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram.

Ini menunjukkan bahwa ibadah haji menuntut seseorang untuk tidak membesar-besarkan perbedaan, semua harus memakai pakaian yang sama, ucapan dan zikir yang sama, kiblat yang sama, dan menyembah Allah Tuhan yang sama.

Dengan mengenakan pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diperhatikan oleh orang yang melaksanakan ibadah haji.

Larangan itu seperti dilarang menyakiti binatang, dilarang membunuh atau menumpahkan darah, dan lain-lain.

Mengapa?

Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Allah dan memberi kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Pakaian ihram yang serbaputih dan tidak berjahit (bagi pria) melambangkan kesucian hati lahir batin, ketulusan niat, kejernihan pikiran, kebulatan tekad, dan komitmen untuk selalu memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah).

Kedua, talbiyah merupakan satu-satunya bacaan/zikir yang terus diulang-ulang oleh jamaah haji atau umrah.

"Labbaik Allahumma Labbaika, Labbaika la Syarika Laka Labbaik, Innal Hamda Wanni'mata Laka wal Mulku la Syarika Laka Labbaik,"

Talbiyah seperti di atas, menurut Tgk Sulfanwandi, merupakan untaian kalimat yang sangat menyejukkan, lembut, dan memiliki irama yang indah.

Untaian kalimat itu, sambungnya, menampakkan apa yang terpendam dalam jiwa dan menggiringnya untuk berhubungan langsung dengan Rabb.

“Talbiyah adalah lambang tauhid dan wujud kemurnian penghambaan diri kepada Allah, sedangkan tauhid adalah pengesaan yang menjadi karakter hamba beriman secara individu.

Itulah bentuk dari persatuan akidah, serta pemikiran tauhid, moral, dan tujuan yang ingin dicapai," jelas Tgk Sulfawandi yang juga dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Lebih lanjut, Abu kelahiran Meukek (Aceh Selatan), 5 Agustus 1969 ini menyampaikan, seorang jamaah haji berusaha menunjukkan gambaran perasaan yang dialami tentang hakikat keberadaannya di dunia dan akhirat yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan yang penuh berkah ini.

Dalam riwayat, Said bin Jubair menyebutkan:

"Ketika Nabi Ibrahim selesai membangun Ka'bah, Allah mewahyukan kepadanya untuk mengumumkan Haji kepada manusia.

Nabi Ibrahim pun kemudian keluar dan menyeru manusia.

‘Wahai manusia sekalian, sesungguhnya Tuhan kalian telah mendirikan sebuah rumah, maka berhajilah!’

Seketika itu, semua makhluk dari golongan manusia, jin, pepohonan, tanah, gunung, air, dan segala sesuatu yang mendengar seruan itu serentak menjawab seruan Nabi Ibrahim dengan kalimat talbiyah Labbaik Allahumma Labbaik,” (HR Thabari)

Ketiga, tawaf.

Tgk Sulfanwandi yang berangkat ke Tanah Suci kali ini bersama rombongan Kelompok Terbang (Kloter) 11 Embarkasi Banda Aceh menyampaikan, esensi tawaf bukanlah sekadar berlari kecil mengelilingi Ka'bah tujuh kali, dimulai dan berakhir pada rukun aswadi (di garis lurus Hajar Aswad).

Tawaf mengharuskan hujjaj berakidah tauhid sejati.

Tawaf itu ibarat ‘tasbih kehidupan.’

Semua gerakan tawaf itu harus berada dalam orbit tauhid.

Gerakan tawaf melambangkan dinamika kehidupan yang progresif dan transformatif.

Karena itu, kata Tgk Sulfanwandi, tawaf membentuk muslim antisyirik, serta tidak mudah dijajah oleh berhala sosial politik dan budaya.

Tawaf merupakan simbol perjuangan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, serta menyatukan langkah dan memusatkan hati kepada eksistensi Sang Pencipta.

Sehingga, ketika ideologi manusia terpusat pada eksistensi Sang Pencipta, maka segala elemen yang ada mengitari pusatnya dan keridhaan Allah Swt merupakan hadiah terindah dalam kehidupannya.

Keempat, sa’i.

Secara historis, sa’i dilakukan pertama kali oleh seorang perempuan yang bernama Siti Hajar.

Beliau berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa selama tujuh kali, mencari air untuk sang buah hatinya, Nabi Ismail as.

Kala itu, mereka berdua berada di padang pasir yang tandus tanpa kehidupan.

Sa'i antara bukit Shafa dan Marwa mengandung nilai etos kerja produktif dan motivasi berprestasi tinggi.

“Kegigihan Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail as, dalam mencari dan menemukan air kehidupan bagi buah hati yang dicintainya menginspirasi jamaah haji untuk meneladani seorang ibu yang tidak pernah lelah dan menyerah dalam menyayangi dan mengantarkan anaknya untuk meraih masa depan yang terbaik,” jelas Mutawif (Pembimbing) Utama Travel Umrah PT Al Azhar Laris Banda Aceh ini.

Tgk Sulfanwandi juga mengungkapkan, Siti Hajar mewakili social cultural saat itu, di mana kedudukan wanita dipandang rendah, dan identitas Siti Hajar sebagai budak hitam dari kasta rendah, yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat kala itu.

Namun, Allah Swt melalui sosok Siti Hajar mengangkat derajat perempuan tanpa memandang identitas sosial semua sama di hadapan Sang Pencipta.

Bukti ketaatan dan ketangguhan seorang perempuan sebagai istri yang jauh dari suami di pandang pasir yang tandus masih terkenang sampai saat ini dan di masa akan datang.

Bukti dari perjuangan seorang ibu untuk buah hatinya itu kini Allah abadikan menjadi sebuah ritual suci dalam ibadah haji.

Keempat, Wukuf.

Pembimbing Ibadah Haji pada KBIHU Raudhatul Qur’an ini menyatakan bahwa wukuf merupakan pilar utama ibadah haji.

Sabda Rasulluallah: ”Al hajju Arafah.”

Wukuf di Padang Arafah merupakan ritual yang paling sakral dalam prosesi ibadah haji.

Wukuf secara bahasa artinya berdiam diri.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 199-203 disebutkan bahwa esensi ibadah haji secara berurutan adalah ‘mengingat Allah.’

Sehingga, wukuf memiliki makna berdiam diri di Padang Arafah yang luas untuk mengingat Allah Swt dengan berdoa dan berkontemplasi memaknai hakikat siapa diri kita, serta dari mana dan kemana kita akan kembali.

Wukuf di Arafah, sebut Tgk Sulfanwandi, adalah cermin kesadaran personal terhadap pentingnya ‘berhenti sejenak sambil merenungi dan makrifat diri’ untuk dapat merasakan kehadiran Allah Swt.

“Wukuf Arafah sebagai simbol miniatur padang makhsyar di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran eskatologis mengenai perlunya muhasabah (evaluasi diri), pengenalan jati diri, dan yang lebih penting lagi merasakan ‘pengadilan terhadap diri sendiri’ sebelum mengikuti ‘pengadilan Rabbul ‘Izzaty” hari kiamat nanti,” jelas Tgk Sulfanwandi yang juga pimpinan Dayah Raudhatul Qur’an, Tugkop, Aceh Besar.

Abu yang menamatkan pendidikan S1 hingga S3 di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh ini juga menguraikan bahwa wukuf memiliki pesan persamaan semua manusia dari seluruh penjuru dunia, tanpa memandang ras, suku, martabat, takhta, bahasa, warna kulit, dan sebagainya.

Mereka berada dalam satu tempat yang sama dengan satu kain pakaian yang sama, di bawah sengatan sinar matahari, semua sama-sama bermunajat kepada Allah Swt yang sama.

Tak ada yang membedakan satu sama lain di hadapan Allah Swt, kecuali ketakwaan.

Semua manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.

Melalui ibadah haji, tambah Tgk Sulfanwandi, Allah Swt menitipkan berjuta inspirasi kehidupan dan pesan-pesan moral dan spiritual agar manusia saling bersikap toleran, bersedia menerima dan memahami aneka perbedaan, cinta damai, rukun, saling menghargai, toleransi, disiplin, beretos kerja tinggi, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

“Ibadah haji sangat menginspirasi dan memotivasi hujjaj untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral dan sosial kultural dalam kehidupan sehari-hari yang berorentasi kebajikan dan kemanusiaan,” ungkap suami dari Ummi Hj Erliyanti Yusuf SE ini.

Setiap jamaah haji, sebut Tgk Sulfanwandi, mengharapkan predikat haji mabrur dan mabrurah karena tidak ada balasan untuk haji yang mabrur dan marurah selain surga.

“Haji mabrur dan mabrurah adalah haji yang berhasil mencampakkan nilai-nilai hewaniah dan menyerap sifat-sifat rabbaniyah (ketuhanan).

Mabrurnya haji seseorang akan dapat dilihat pada saat sebelum dan sesudah ibadah haji itu dilaksanakan.

Dalam perilaku kesehariannya, haji mabrur dan mabrurah memperlihatkan sikap dan kehidupan yang islami, baik, benar, dan berguna.

Ibadahnya semakin kuat, kasih sayang kepada sesama semakin meningkat, dan menjadi suri teladan bagi masyarakat,” pungkas ayah tiga anak ini. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved