Pulau Sengketa Aceh Sumut

JK Sebut Empat Pulau yang Masuk Sumut Milik Aceh: Dasarnya UU 1956 dan MoU Helsinki, Bukan Kepmen

Menurut JK, keputusan hukum berupa undang-undang tidak bisa diubah oleh Keputusan Menteri (Kepmen). Pasalnya, secara hierarki Undang-Undang memiliki

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
KOMPAS TV
JUSUF KALLA - Jusuf Kalla tanggapi polemik kepemilikan empat pulau yang memicu ketegangan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, di kediamannya di Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025) pukul 16.00 WIB. Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 tersebut turut membuka dokumen Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005, yang didalamnya terdapat pembahasan mengenai batas daerah Aceh. 

SERAMBINEWS.COM - Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla angkat bicara mengenai polemik kepemilikan empat pulau yang belakangan memicu ketegangan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Dalam konferensi pers di kediamannya di Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025), JK menyebut bahwa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh.

“Pulau-pulau itu secara historis masuk Aceh Singkil. Letaknya yang dekat Sumatera Utara tidak berarti ia masuk wilayah Sumut. Sama seperti di Sulawesi Selatan ada pulau dekat NTT, tapi tetap milik Sulsel,” jelas Jusuf Kalla didampingi Mantan Menteri sekaligus tokoh perunding damai Aceh, Sofyan Djalil, seperti dikutip dari siaran Kompas TV, Jumat (13/6/2025).

Menurut JK, dasar hukum yang menegaskan status wilayah empat pulau itu adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. 

UU ini membentuk Provinsi Aceh secara terpisah dari Sumatera Utara dengan sejumlah kabupaten, termasuk Aceh Singkil, yang secara administratif memiliki yurisdiksi terhadap keempat pulau tersebut.

Selain itu, penetapan batas wilayah Aceh juga ditegaskan kembali dalam Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005.

Dalam MoU, disebutkan bahwa perbatasan wilayah Aceh merujuk pada batas administratif per 1 Juli 1956 yang merujuk pada isi UU 24/1956.

"Karena banyak yang bertanya tentang MOU di Helsingki, karena itu saya bawa MoU-nya. Mengenai perbatasan itu ada di pasal 1.1.4 yang berbunyi: perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956," kata JK sambil mengeluarkan dokumen MoU Helsinki di hadapan awak media.

Baca juga: Empat Pulau Aceh “Dipindah” ke Sumut: Menjaga Wilayah, Merawat Martabat

"1 Juli 1956 merupakan UU Nomor 24 Tahun 1956, itu yang meresmikan pemisahan Aceh dari Sumut sekaligus pembentukan Aceh oleh Presiden Soekarno," tambahnya.

Lebih lanjut JK menjelaskan, klaim Aceh atas empat pulau tersebut bukan tanpa dasar. 

Dalam sejarahnya, Aceh awalnya memang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Namun pada masa pemberontakan DI/TII di bawah Daud Beureueh, pemerintah pusat melalui Presiden Soekarno mengeluarkan UU Nomor 24 Tahun 1956 yang secara resmi memisahkan Aceh menjadi provinsi sendiri, lengkap dengan kabupaten-kabupaten administratifnya.

“Undang-undang itu menjadi dasar hukum formal pembentukan Provinsi Aceh," tegas Jusuf Kalla.

Selain itu, JK juga mengungkapkan bahwa secara de facto, keempat pulau yang diperebutkan tersebut selama ini dikelola oleh Aceh, tepatnya oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.

“Masyarakat di sana bayar pajak ke Aceh Singkil,” ujarnya.

Bahkan, salah satu tokoh lokal, lanjut JK, bahkan siap menunjukkan bukti-bukti pembayaran pajak selama ini yang dilakukan kepada pemerintah Aceh.

Baca juga: Polemik Kepemilikan Empat Pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, Ini Kata Rektor USK

Tak bisa dibatalkan dengan Kepmen

Menurut JK, keputusan hukum berupa undang-undang tidak bisa diubah oleh Keputusan Menteri (Kepmen).

Pasalnya, secara hierarki Undang-Undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Keputusan Menteri.

“Kalau mau mengubah wilayah, ya harus melalui undang-undang juga. Kepmen tidak bisa menggeser batas yang ditetapkan UU, ” kata JK.

Jk juga mengaku telah bertemu dan berdiskusi dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan membahas persoalan tersebut.

"Sekali lagi, Kepmen tidak bisa merubah Undang-Undang. Walaupun dalam undang-undangnya tidak menyebut pulau itu, tapi ini historis," tegas JK.

MoU Helsinki tidak menyebut peta, tapi tegaskan batas

Dalam kesempatan tersebut, JK juga menjawab isu minimnya data peta tahun 1956 yang disebut oleh sejumlah pihak.

Ia menegaskan bahwa perbatasan yang dimaksud dalam MoU Helsinki bukan merujuk pada peta fisik, melainkan pada batas administratif kabupaten sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

"Saya ulangi, perbatasan Aceh menunjuk kepada perbatasan 1 Juli 1956. Jadi yang berbatas kabupaten, kabupaten ini Aceh. Sama sekali tidak menyebut peta, hanya perbatasan," terang JK.

“Sama seperti kita tahu perbatasan Jakarta dengan Bekasi. Tidak perlu peta, masyarakat lokal tahu batas-batasnya,” imbuhnya.

Pernyataan JK tersebut diperkuat oleh Sofyan Djalil. Menurutnya, dalam proses perundingan damai Helsinki, batas wilayah menjadi poin penting yang diajukan oleh pihak GAM.

Baca juga: Menteri Dalam Negeri tak Perlu Gengsi Kembalikan Empat Pulau Aceh di Wilayah Aceh Singkil Demi NKRI

Kekhawatiran utama GAM kala itu adalah kemungkinan wilayah Aceh kembali diintegrasikan ke Sumatera Utara, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Oleh karena itu, kedua pihak sepakat bahwa batas Aceh harus merujuk pada kondisi administratif per 1 Juli 1956.

"Tujuan kita kan waktu itu amanah pemerintah kepada delegasi untuk mencari penyelesaian yang diterima kedua pihak," kata Sofian yang terlibat dalam perundingan di Helsinki.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved