Feature

Kisah Perjalanan Bisnis Pria Bireuen Muhsin Said Dari Tauke Arang ke Tauke Sapu Lidi

Kisahnya bukan hanya tentang perubahan jenis usaha, tetapi juga tentang kegigihan, jejaring lintas daerah, dan insting bisnis yang tajam. 

|
Editor: mufti
IST
PANEN JAGUNG - Pengusaha arang dari Bireuen, Muhsin Said, memenuhi undangan CEO Trans Continent Ismail Rasyid di Gorontalo. Muhsin juga diajak memanen jagung di kebun milik Trans Continent, Selasa (17/6/2025). 

DI tengah panasnya tanah Bireuen yang kering dan berdebu, nama Muhsin Said muncul sebagai sosok yang tak pernah menyerah. Dulu ia dikenal sebagai tauke arang, kini ia menjelma menjadi tauke sapu lidi. 

Kisahnya bukan hanya tentang perubahan jenis usaha, tetapi juga tentang kegigihan, jejaring lintas daerah, dan insting bisnis yang tajam. 

Muhsin Said bukan pengusaha biasa. Ia memulai segalanya dari bawah. Pria 51 tahun ini tinggal di Juli, Bireuen. Pada satu waktu, seorang keturunan Arab dari Surabaya bernama Riyad datang berkunjung ke Bireuen. Ia terkejut melihat potensi alam Aceh yang sangat kaya.

"Ente hidup di negeri emas, kenapa pelihara kambing?" ujar Riyad, sambil tertawa kecil. Ia melihat potensi besar yang belum tergarap di daerah itu—potensi yang kemudian menjadi awal dari perjalanan bisnis arang. 

Riyad adalah pemilik pabrik briket di Jawa Timur yang membutuhkan bahan baku arang. Dari pertemuan itu, lahirlah kerja sama keduanya. Muhsin mulai menyuplai arang, bahkan pernah mengirimkan dua kontainer sekaligus senilai Rp 400 juta.

Dalam kurun waktu satu setengah tahun, Muhsin mampu mengirim 78 kontainer. Namun, kerja sama keduanya pecah. Entah karena persoalan harga, pasokan, atau hal lain, Muhsin pun mencari jalan lain.

Jalan baru itu datang dari seorang pengusaha Tionghoa asal Surabaya bernama Aris. Mereka awalnya hanya berkenalan lewat komunikasi bisnis biasa. Bermodal saling percaya, Muhain mulai merintis kerja sama dengan Aris. 

Keduanya melangsungkan bisnis tanpa pernah bertemu. Segalanya berjalan lancar. Suatu ketika Muhsin mengunjungi Aris di Surabaya, sambutannya sungguh tak terduga. “Saya belum pernah bertemu langsung sebelumnya, tapi beliau sambut seperti tamu kehormatan,” kenang Muhsin. 

“Dijemput di bandara, dibukakan pintu mobil, diantar ke hotel, bahkan diantar langsung sampai kamar,” imbuhnya.

Dari hubungan bisnis ini, Muhsin memasok sekitar 200 kontainer arang ke pabrik-pabrik Pak Aris, salah satu pengsuaha pemasukan arang ke berbagai pabrik briket di Pulau Jawa. 

Kerja sama ini berlangsung tiga tahun. Namun, seperti yang ia katakan, “Bisnis arang sekarang sudah selesai, karena terpuruk akibat salah pengelolaan oleh orang terdekat saya," kata Muhsin Said

Tapi Muhsin bukan tipe yang berdiam diri. Di saat arang mulai redup, ia melihat peluang dari sesuatu yang dianggap remeh oleh banyak orang, lidi kelapa.

Ia bertemu dengan seorang pengusaha asal Sragen, Jawa Tengah, melalui Facebook. Tak hanya bertukar pesan, Muhsin mengundang rekannya itu datang ke Bireuen untuk memulai produksi sapu lidi. Dan dari situlah cerita baru dimulai.

Muhsin kini merintis usaha produksi sapu lidi yang bahannya diambil dari pelepah daun kelapa kering. Ia bahkan menjual produknya secara door to door. Menyusuri kota-kota kecil dari Aceh Tamiang hingga ke berbagai daerah lain. “Alhamdulillah,” katanya, “pembeli mulai percaya.”

Perjalanan Muhsin Said bukan hanya tentang arang atau sapu lidi. Ini adalah kisah tentang membaca peluang, berani mengambil risiko, dan membangun jaringan lintas budaya serta provinsi. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved