Banda Aceh

UIN Ar-Raniry dan BRA Bedah Buku “Dua Dekade Damai Aceh”, Perjalanan 20 Tahun Perdamaian Aceh

Buku karya Iskandar Norman dengan editor Teuku Murdani itu merekam perjalanan 20 tahun perdamaian di Aceh,

Penulis: Muhammad Nasir | Editor: Nur Nihayati
IST
BEDAH BUKU - Peserta bedah buku Dua Dekade Damai Aceh berfoto bersama di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (26/6/2025). 

Buku karya Iskandar Norman dengan editor Teuku Murdani itu merekam perjalanan 20 tahun perdamaian di Aceh, 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Dua dekade sejak penandatanganan perjanjian damai Helsinki, proses perdamaian di Aceh terus menjadi bahan refleksi dan evaluasi.

Salah satu upaya memperdalam pemahaman terhadap dinamika tersebut dilakukan melalui kegiatan bedah buku Dua Dekade Damai Aceh yang digelar di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (26/6/2025).

Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Buku karya Iskandar Norman dengan editor Teuku Murdani itu merekam perjalanan 20 tahun perdamaian di Aceh, khususnya dari perspektif reintegrasi pascakonflik yang dijalankan oleh BRA. 

Diterbitkan atas kerja sama BRA dan Padeebooks, buku setebal 200 halaman ini menjadi dokumentasi penting atas capaian dan tantangan dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.

Sejumlah akademisi dan praktisi turut hadir sebagai pembahas dalam forum tersebut, di antaranya Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, M Adli Abdullah, Rasyidah, Muazzinah dan Reza Idria.

Mewakili Rektor UIN Ar-Raniry, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Prof Dr Mursyid Djawas, membuka kegiatan tersebut dan menyampaikan harapannya agar generasi muda turut aktif menjaga perdamaian.

“Jangan sampai generasi yang tidak mengalami konflik justru menjadi generasi yang melemahkan damai. Tanggung jawab untuk mengisi perdamaian jauh lebih besar daripada sekadar mengingat konflik,” ujarnya.

Dalam pengantar buku, Rektor UIN Ar-Raniry Prof Dr Mujiburrahman menekankan pentingnya pendidikan sebagai pondasi utama perdamaian. 

“Di wilayah pascakonflik seperti Aceh, pendidikan bukan sekadar soal kurikulum. Ia adalah jalan membangun keadilan dan stabilitas sosial,” tulisnya.

Konflik berkepanjangan di Aceh disebut telah merusak infrastruktur pendidikan, memaksa penduduk mengungsi, dan membatasi akses terhadap ilmu pengetahuan. 

Oleh karena itu, pemulihan sektor pendidikan, termasuk pelatihan vokasional dan pemberdayaan kelompok marginal, menjadi prioritas.

Salah satu poin penting dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki adalah kewajiban negara membantu reintegrasi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Proses ini dilaksanakan melalui Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 yang memberi mandat kepada Gubernur Aceh. BRA pun dibentuk sebagai lembaga pelaksana.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved