Kupiah Meukeutop Aceh, Warisan Leluhur yang Kian Populer, Tapi Terancam Gempuran Produk Massal

Prosesnya panjang dan penuh aturan. Motif-motif yang dijahit pada kain juga memiliki makna mendalam dan tak bisa sembarangan ditiru. 

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Agus Ramadhan
SERAMBINEWS.COM/FIRDHA USTIN
KUPIAH MEUKEUTOP - Kupiah Meukeutop hasil buatan tangan para perajin di Gampoeng Garoet Cut, Kec. Indra Jaya, Kabupaten Pidie. 

SERAMBINEWS.COM - Kupiah meukeutop merupakan topi tradisional adat Aceh yang biasanya digunakan sebagai pelengkap pakaian adat kaum pria. 

Topi ini biasanya sering dikenakan dalam upacara adat, momen seremonial, hingga pelantikan pemimpin.

Namun bukan hanya sebagai penutup kepala atau pelengkap pakaian adat, bagi masyarakat Aceh, topi yang identik dengan perpaduan warna-warna mencolok ini telah lama menjadi simbol budaya, sekaligus jati diri masyarakat Aceh.   

Setiap warna dan motifnya menyimpan filosofi yang dalam tentang keberanian, kekuasaan, kemakmuran, ketegasan hingga kesucian.

Hampir semua bagian dari struktur Kupiah Meukeutop mencerminkan pandangan hidup masyarakat Aceh sehari-hari.

Nilai-nilai hukum, adat, dan agama yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh, diukir dalam setiap anyaman benang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi.

Di balik keindahan kupiah meukeutop yang sarat akan makna tersebut, masih ada tangan-tangan terampil yang menjahitnya dengan penuh ketelitian.

Mereka adalah sekelompok perempuan Tangguh di Desa Garoet Cut, Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Pidie.

Setiap sore, sekelompok ibu rumah tangga yang sebagian besar telah memasuki usia senja berkumpul di sudut rumah tua yang menjadi 'Basecamp' mereka.

Baca juga: Tugu Kupiah Meukeutop Teuku Umar, Monumen Sejarah yang Memikat di Pesisir Aceh

Tangan-tangan renta itu begitu cekatan, tanpa henti mengayunkan jarum dan benang, sambil melempar tawa ringan.

"Ada yang sudah sangat senior, sudah tua, sekarang juga sudah mulai sakit-sakit jadi jarang bergabung. Ada yang usia 60an, paling muda di atas 30an," kata Nurdiana, warga Gampong Garoet Cut .

Diana adalah salah satu tokoh muda yang masih peduli dengan kelestarian warisan budaya serta kelangsungan hidup para perajin Kupiah Meukeutop.

Karena kepeduliannya, Dosen Universitas Jabal Gafur (Uniga) Pidie itu pun berinisiatif menaungi para perajin yang ada di desanya, menampung permintaan sekaligus menjadi penghubung antara konsumen dengan perajin kupiah meukuetop di Desa Garoet Cut.

"Peran saya sebenarnya lebih ke mengawasi para perajin, menjaga agar produk hasil karya mereka dijual sesuai dengan kualitasnya," ujar Diana.

"Saya bantu promosi atau perkenalkan langsung ke perajinnya jika ada permintaan," sambungnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved