Kupiah Meukeutop Aceh, Warisan Leluhur yang Kian Populer, Tapi Terancam Gempuran Produk Massal

Prosesnya panjang dan penuh aturan. Motif-motif yang dijahit pada kain juga memiliki makna mendalam dan tak bisa sembarangan ditiru. 

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Agus Ramadhan
SERAMBINEWS.COM/FIRDHA USTIN
KUPIAH MEUKEUTOP - Kupiah Meukeutop hasil buatan tangan para perajin di Gampoeng Garoet Cut, Kec. Indra Jaya, Kabupaten Pidie. 

Tak hanya mendedikasikan waktu, Diana juga terkadang menyediakan 

Jumlah perajin Kupiah Meukeutop di bawah kelompok UMKM yang dinaungi Diana kini hanya tersisa 25 orang.

Menurutnya jumlah tersebut sangat sedikit dibanding jejak-jejak tradisi Gampoeng Garoet Cut yang telah lama dikenal sebagai salah satu daerah pembuat Kupiah Meukeutop.

"Minat generasi muda sekarang memang sudah tidak ada. Mungkin salah satu faktornya karena masa depan ekonomi yang tidak menjanjikan," jelas Diana.

Baca juga: Kenakan Kupiah Meukeutop Anggota Panwaslih Aceh Utara Dilantik Bawaslu RI di Jakarta

Proses penuh makna dan aturan

Rumah panggung adat Aceh yang kondisinya sudah mulai lapuk, menjadi bukti bahwa tradisi dan warisan budaya dari Kupiah Meukeutop masih bernapas meskipun pelan.

Para perajin di Gampoeng Garoet Cut tidak sembarang memproduksi topi yang memiliki nilai sejarah tersebut. 

Prosesnya panjang dan penuh aturan. Motif-motif yang dijahit pada kain juga memiliki makna mendalam dan tak bisa sembarangan ditiru. 

"Satu kupiah (pengerjaannya) bisa satu bulan. Tergantung kecepatan dan kesanggupan perajinnya," jelas Diana.

Beberapa motif yang dirangkai pada setiap helaian kain untuk Kupiah Meukeutop ialah motif kunci dan motif bungong keupula.

"Motif ini juga digunakan pada kupiah syam. Tapi ada perbedaan susunannya. Ini yang orang-orang tidak tau," jelas Ridwan, warga asal Gampong Garoet Cut sekaligus saudara kandung Diana.

Proses pembuatan kupiah meukeutop
KUPIAH MEUKEUTOP - Proses pembuatan topi tradisional adat Aceh, Kupiah Meukeutop yang dilakukan secara manual, dijahit menggunakan jarum dan benang. Proses pengerjaannya secara kelompok, membutuhkan ketelitian dan waktu yang panjang.

Ridwan menjelaskan, meski sama-sama topi adat, ada perbedaan lain selain motif antara kupiah meukeutop dan kupiah syam.

Kupiah meukuetop pada masa dahulu digunakan oleh para pemangku kekuasaan, seperti sultan.

Sementara kupiah syam merupakan topi sehari-hari, dan umumnya digunakan oleh tokoh dan para pemuka agama di Aceh.

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh kolektor benda bersejarah sekaligus pendiri Pedir Museum, Masykur Sayfruddin.

"Kupiah syam dan kupiah meukeutop beda fungsi. Kita bisa tau siapa orang menggunakannya, ulama atau penguasa (pejabat), dilihat dari bentuk dan motifnya," jelas Masykur yang ditemui saat pegalaran benda-benda bersejarah Aceh pada event Meuseuraya Akbar 2025 di Pidie.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved