Sekolah Gratis
Orangtua Siswa Nilai Putuskan MK Gratis untuk Swasta Ceroboh dan Berbahaya
Penilaian tersebut disampaikan salah seorang dari orangtua siswa di Banda Aceh, Razami Dek Cut.
Penulis: Bukhari Ali | Editor: Amirullah
Penulis: Bukhari M Ali
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah pusat dan daerah agar menggratiskan biaya sekolah jemgang SD-SMP dinilai ceroboh, terburu-buru, runyam, dan bahkan berbahaya.
Penilaian tersebut disampaikan salah seorang dari orangtua siswa di Banda Aceh, Razami Dek Cut. “Ceroboh sekali, MK hanya melihat asas keadilan tanpa azas kepatutan dan kebutuhan,” kata Dek Cut kepada Serambi News, Selasa (1/7/2025) petang.
Sebab, katanya, dengan diwajibkannya sekolah swasta gratis, maka kondisi itu akan berpengaruh pada mutu sekolah bersangkutan. Artinya, sekolah swasta tidak mungkin membiayai sendiri program sekolah tanpa sumbangan dari pihak orangtua siswa.
Alasan lainnya, jika sekolah swasta tetap tidak bisa mengutip biaya, maka program-program unggulan sudah pasti tidak bisa dijalankan, termasuk mengundang tenaga pengajar (guru) dari luar negeri untuk mengajar di sekolah swasta tersebut.
Dek Cut yang sehari-hari berprofesi sebagai pengusaha lebih mengatakan, putusan MK tersebut bisa menyebabkan sebagian orangtua yang menginginkan anaknya dapat sekolah yang bermutu akan pilih sekolah luar negeri.
Baca juga: Pemkab Aceh Selatan Siap Bangun Sekolah Rakyat, 2 Lokasi Disurvei, Begini Konsep Sekolah Gratis Itu
Kondisi ini, menurut Dek Cut, tentu saja berbahaya bagi generasi masa depan anak bangsa. “Mereka yang sudah sekolah di luar negeri, banyak yang malas pulang ke Indonesia, akkhirnya bekerja di sana,” ungkap Dek Cut.
“Kami juga menginginkan anak-anak kami bisa sekolah ke luar negeri setelah tamat SMP, tapi jika di dalam negeri sekolah tidak bermutu bagaimana masa depan anak kami,” ulang Dek Cut, berkali-kali
Mestinya, kata politisi PAN ini, masyarakat juga diberi kesempatan untuk memilih sekolah yang bermutu sesuai dengan kemampuan finansialnya. Sedangkan bagi masyarakat yang ingin anaknya biasa-biasa saja, tentu saja bisa pilih sekolah negeri atau sekolah pemerintah.
Dek Cut bercerita bahwa anaknya saat ini memilih Fatih Bilingual School, sebuah sekolah bertaraf internasional, sehingga anaknya pun sering ikut kompetisi internasional. Misalnya, tahun kemarin anak juara 2 (silver) di Macao, sedangkan juara 1 dari Singapura.
“Coba kalau sekolah tidak bermutu, apa bisa dia ikut lomba tingkat internasional itu,” papar Dek Cut, yang kelihatannya kecewa terhadap keputusan MK tersebut.
Selebihnya, Dek Cut menilai bahwa posisi MK—dimana putusannya final dan mengikat—dinilai berbahaya. Sebab, putusannya sudah seperti titah raja, dimana semua rakyatnya harus ikut.
Baca juga: 7 Fakta Anak Buang Ibu ke Panti Jompo Rela Tak Dikabari Jika Meninggal, Ngaku Titip Tapi Dikontenin
“Kenyataannya banyak putusan MK yang punya kelemahan, tetapi karena tidak bisa banding akhirnya runyam,” urainya.
“Saya kira sudah selayaknya posisi MK itu ditinjau kembali, misalnya putusannya bisa banding di PTUN,” pinta Dek Cut, pengusaha muda sukses itu.
Sebelumnya diberitakan, MK belum lama ini mengeluarkan putusan terkait pendidikan dasar di Indonesia. Dalam keputusannya, MK menegaskan pendidikan dasar yaitu SD dan SMP harus diselenggarakan tanpa pungutan biaya alias gratis di sekolah negeri maupun swasta. Putusan ini menjadi angin segar bagi jutaan anak Indonesia, khususnya dari keluarga tidak mampu yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan karena keterbatasan biaya dan daya tampung sekolah negeri.
Putusan ini berawal dari permohonan pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, mengatakan pihaknya menerima banyak aduan masyarakat terkait dengan layanan pendidikan yang diskriminatif.
“Jadi sebelum permohonan ini kami ajukan ke MK, itu institusi kami JPPI menerima banyak aduan dari masyarakat terkait dengan layanan pendidikan dasar yang dirasa oleh masyarakat masih sangat diskriminatif,” ujar Ubaid dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (2/6/2025).
Ubaid menuturkan, banyak orang tua datang mengadu karena anak-anak mereka terpaksa putus sekolah dan bahkan ada yang dari kelas 3 SD tidak bisa melanjutkan ke kelas 4 SD, atau dari SD tidak bisa lanjut ke SMP.
Alasannya, lanjut Ubaid, karena tak mampu membayar uang pangkal, SPP, hingga biaya lainnya di sekolah swasta.
JPPI juga menilai, tafsir Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas yang selama ini berlaku sangat sempit yang seolah-olah "gratis" hanya berlaku bagi sekolah negeri.
Padahal, kata Ubaid, dalam UUD 1945 tidak ada pembeda antara anak negeri dan anak swasta. (*)
Semarakkan HUT RI, Warga Lueng Daneun Gelar Jalan Santai dan Senam Sehat |
![]() |
---|
Tetap Sehat dan Langsing Selama Menyusui |
![]() |
---|
VIDEO Seratusan Karateka Perguruan KKI Lhokseumawe Ikuti Ujian Kenaikan Sabuk |
![]() |
---|
Kasus HIV/AIDS Ancam Generasi Muda Aceh, Devi Yunita Minta Pemerintah Bersikap |
![]() |
---|
Sambut HUT Ke-80 RI, Warga Nagan Raya Ramaikan Senam Jantung Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.