Opini

Efisiensi Anggaran dan Bom Waktu JKA

Provinsi Aceh juga termasuk dalam wilayah yang terdampak berdasarkan SK Mensos tersebut. Namun, apabila proses mitigasi, reaktivasi, dan sosialisasi s

Editor: mufti
IST
dr Adrian Almahmudi MKM, Anggota IDI Banda Aceh Pemerhati Kebijakan Kesehatan Aceh 

dr Adrian Almahmudi MKM, Anggota IDI Banda Aceh Pemerhati Kebijakan Kesehatan Aceh

BEBERAPA minggu belakangan, beredar kabar di media nasional terkait pemberlakuan SK Menteri Sosial (Mensos) Nomor 80 Tahun 2025 yang menonaktifkan sekitar kurang lebih 1.089.767 peserta JKN PBI Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan ini diambil sebagai upaya efisiensi dan memastikan bahwa Penerima Bantuan Iuran tepat sasaran. Implementasi aturan ini mengakibatkan akan adanya sebaran peserta nonaktif di beberapa daerah Indonesia. Salah satu daerah yang terdampak, sebagaimana disebutkan dalam pemberitaan TV One pada 12 Juni 2025, adalah Kabupaten Temanggung, yang mencatat sekitar 20.000 jiwa peserta nonaktif.Pemberlakuan aturan yang telah dijalankan pada Juni ini berpotensi mengakibatkan masalah bagi peserta yang akan mengakses layanan kesehatan di fasilitas kesehatan dalam kondisi nonaktif. Provinsi Aceh juga termasuk dalam wilayah yang terdampak berdasarkan SK Mensos tersebut. Namun, apabila proses mitigasi, reaktivasi, dan sosialisasi sesuai SK dijalankan dengan baik, maka kondisi ini tidak akan mengganggu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan.

Deputi Direksi Wilayah VI BPJS Kesehatan dr Yessi Kumalasari menjelaskan bahwa proses validasi kini telah terintegrasi dalam sistem Data Terpadu Sosial Ekonomi (Datsus), yang memadukan lebih dari tiga sumber data: Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), Program Perlindungan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Keluarga (P3KE), dan data lintas Kementerian. Diharapkan, melalui terbitnya SK Mensos ini, proses reaktivasi yang dilakukan dapat memastikan bahwa peserta yang kembali diaktifkan benar-benar berasal dari kelompok masyarakat yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi terkini

Bagaimana dengan JKA?

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, disebutkan bahwa segmentasi kepesertaan JKN terdiri atas Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non-Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Ada beberapa regulasi yang mengatur kepesertaan Jaminan Kesehatan Aceh, antara lain Qanun No. 4 Tahun 2010, Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No. 2 Tahun 2015, hingga Pergub No. 7 Tahun 2017, yang menyebutkan bahwa “JKA adalah suatu jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap penduduk Aceh yang iurannya dibayar oleh Pemerintah Aceh.” Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh penduduk Aceh yang memiliki KTP Aceh tergolong sebagai peserta JKA.

Merujuk Perpres dan qanun pengkategorian tersebut, maka Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) bisa disebut termasuk dalam kategori peserta PBI, yang pada Pasal 1 Ayat 5 Perpres No. 82 Tahun 2018, disebutkan bahwa “PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program Jaminan Kesehatan.” Namun, dalam regulasi qanun atau Pergub terkait Jaminan Kesehatan tersebut tidak menetapkan standar kondisi sosial ekonomi secara faktual sebagai acuan dalam pemberian subsidi iuran. Hal ini berpotensi menjadi masalah dalam penetapan anggaran jika tidak dilakukan validasi dan mitigasi secara menyeluruh yang melibatkan lintas sektor.

Mengutip berita di Serambi mendekati penghujung tahun 2023, sempat terjadi Polemik tentang keberlangsungan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), akibat tunggakan iuran dan menipisnya anggaran pemerintah Aceh untuk membayar. Saat itu Jaminan Kesehatan Aceh sempat diisukan akan berakhir dikarenakan tunggakan iuran peserta JKA yang terjadi hingga berbulan-bulan. BPJS Kesehatan sendiri sempat mewanti-wanti untuk Pemerintah Aceh membayarkan iuran yang tertunggak, yang menurut tulisan di laman koran Serambi tanggal 4 Oktober 2023 tunggakannya mencapai Rp 782 miliar.

Jika diformulasikan dalam perhitungan Rp 42.000,-/jiwa setiap bulannya dan iuran yang telah dibayarkan tiap tahunnya, maka kurang lebih ada 1,7 juta peserta JKA yang menjadi tanggungan pemerintah Aceh, yang pembayarannya dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Dari jumlah peserta JKA dibandingkan total penduduk Aceh 5,4 juta orang (data Desember 2022), didapatkan data nyaris 31 persen masyarakat Aceh masih dianggap masuk kategori penerima bantuan iuran.

Kondisi ini secara kasat mata menjadi rancu jika disandingkan dengan data BPS (Badan Pusat Statistik) September 2022 menyebutkan bahwa ada 819 ribu jiwa masyarakat miskin di Aceh, yang mana sebagian dari masyarakat miskin ini sudah terjamin dalam segmen PBI APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

JKA tidak tepat sasaran

Jika kita melihat ke Perpres No 75 Tahun 2019 dalam pasal 34 yang mulai diberlakukan pada Januari tahun 2020 disebutkan bahwa pembayaran JKA per jiwa setara dengan pembayaran kelas III yaitu Rp 42.000/jiwa setiap bulannya, dengan rincian 37.800 dibayarkan oleh Pemerintah Aceh dan 4.200 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat sebagai bantuan iuran. Bayangkan jika 100.000 jiwa saja golongan kaya atau relatif mampu menjadi tanggungan pemerintah Aceh, maka Rp 3,78 miliar yang dikeluarkan per bulan atau 45,3 miliar per tahun yang dibayarkan pemerintah Aceh.

Kepesertaan yang diduga tidak tepat sasaran ini perlu dikaji ulang, dikarenakan masih banyak ditemukannya masyarakat golongan mampu, bahkan pekerja kantor pemerintahan atau swasta yang masih menggunakan JKA sebagai asuransi kesehatan individu. Padahal sudah sepatutnya golongan ini membayar secara mandiri atau instansinya melalui skema peserta Non-Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Potensi pemborosan APBA ini terjadi dikarenakan tidak ada evaluasi atau kajian kemampuan ekonomi secara berkala peserta JKA. Walaupun dari data yang didapatkan beberapa tahun sebelumnya, pemerintah Aceh telah melakukan upaya pengurangan lewat validasi kepesertaan yang sempat mencapai 2,2 juta peserta menjadi 1,7 juta peserta JKA.
Di balik prestasi provinsi Aceh sebagai daerah dengan cakupan Universal Health Coverage (UHC) tertinggi di Indonesia mencapai 99 % , sudah sepatutnya pemerintah Aceh menata ulang aturan terkait kategori kepesertaan JKA. Aturan harusnya berfokus terhadap keberlangsungan kepesertaan JKA yang benar secara data faktual adalah fakir miskin atau golongan tidak mampu, sebelum kondisi ini menjadi bom waktu saat dilakukan efisiensi.

Adanya upaya mitigasi pemerintah pusat setelah terbitnya SK Mensos 80 Tahun 2025 perlu ditiru oleh provinsi Aceh yang mungkin saja akan melakukan efisiensi pembayaran JKA. Sosialisasi akan pentingnya jaminan kesehatan nasional diharapkan dapat menyadarkan masyarakat tergolong mampu untuk secara mandiri melakukan perubahan jenis kepesertaan di BPJS Kesehatan.

Revisi qanun atau peraturan gubernur terkait kategori peserta yang berhak mendapatkan subsidi pembayaran JKA merupakan hal yang perlu segera dilakukan, apalagi jika dana Otsus ke depan mengalami pengurangan signifikan. Mitigasi ini perlu dilakukan agar Provinsi Aceh bisa optimal dalam merancang anggaran sesuai peruntukan, sehingga dapat tetap berfokus penguatan ekonomi masyarakat Aceh lewat pembangunan SDM dan infrastruktur, tanpa mengabaikan kebutuhan layanan kesehatan masyarakat dan tidak mengorbankan masyarakat fakir miskin dan tidak mampu dikarenakan pembiayaan berkurang karena “subsidi” tidak tepat sasaran.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved