Opini

Rendahnya Cakupan Imunisasi di Aceh

Salah satu hambatan terbesar adalah minimnya pemahaman masyarakat, terutama di pedesaan. Masih banyak orang tua yang percaya bahwa imunisasi

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Ns. Esa Riolyta, S.Kep, mahasiswa Magister Keperawatan USK. 

Oleh: Ns. Esa Riolyta, S.Kep, mahasiswa Magister Keperawatan USK

PADAHAL vaksinnya gratis, kenapa masih ada anak-anak di Aceh yang belum diimunisasi?” Pertanyaan sederhana ini masih sering terdengar di tengah masyarakat kita.

Ketika melihat data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 yang menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Aceh baru mencapai sekitar 70 persen, situasi ini menjadi gambaran serius bahwa kita masih tertinggal jauh dari target nasional 90 persen. 

Artinya, ribuan anak Aceh masih belum memiliki perlindungan optimal dari penyakit berbahaya seperti polio, campak, difteri, pertusis, atau hepatitis B penyakit yang sebetulnya sudah lama dapat dicegah melalui imunisasi.

Imunisasi merupakan salah satu intervensi kesehatan paling efektif dan hemat biaya di dunia. Sejarah telah membuktikan bahwa vaksin berhasil menekan angka kejadian penyakit menular yang dulu memakan banyak korban.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2022 menegaskan bahwa imunisasi dapat mencegah lebih dari 3 juta kematian setiap tahun.

Namun, keberhasilan global ini tampaknya belum sepenuhnya dirasakan di Aceh. Ada tembok besar berupa hambatan budaya, sosial, logistik, ekonomi, dan informasi yang membuat vaksin tidak kunjung terserap secara optimal.

Salah satu hambatan terbesar adalah minimnya pemahaman masyarakat, terutama di pedesaan. Masih banyak orang tua yang percaya bahwa imunisasi hanya diperlukan ketika anak sakit atau ketika terjadi wabah.

Ada pula yang menganggap daya tahan tubuh anak sudah cukup terbangun secara alami sehingga vaksin dianggap tidak penting. Ketakutan orang tua jika anak demam setelah imunisasi semakin memperkuat keraguan mereka.

Padahal, reaksi seperti demam ringan adalah respon normal tubuh yang menunjukkan bahwa sistem imun sedang bekerja membentuk perlindungan. Kesalahpahaman seperti ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga sulit untuk diubah tanpa pendekatan yang tepat dan edukasi yang berkelanjutan.

Selain itu, paparan hoaks di media sosial menjadi tantangan yang tidak bisa dianggap remeh. Berita palsu tentang vaksin yang dituduh “mengandung bahan berbahaya”, “tidak halal”, atau “menyebabkan autisme” sering membingungkan orang tua yang kurang akses informasi.

Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 telah menegaskan bahwa imunisasi dibolehkan dan bahkan dapat menjadi kewajiban dalam kondisi tertentu sebagai ikhtiar menjaga kesehatan diri dan masyarakat.

Sayangnya, klarifikasi resmi seperti ini sering tidak seviral hoaks yang tersebar, sehingga masyarakat lebih mudah terpengaruh narasi yang salah.

Tidak hanya persoalan pengetahuan dan hoaks, akses geografis juga menjadi tantangan besar di Aceh. Kondisi daerah yang bergunung-gunung dan terpencil membuat proses distribusi vaksin dan pelayanan imunisasi menjadi tidak mudah.

Di beberapa daerah, petugas kesehatan harus menempuh perjalanan berjam-jam, melewati jalanan yang rusak, bahkan menggunakan perahu untuk mencapai satu desa. Menurut laporan Dinas Kesehatan Aceh (2023), masih terdapat puskesmas yang kekurangan logistik vaksin, tidak memiliki fasilitas cold chain yang memadai, serta beroperasi dengan jumlah tenaga kesehatan yang terbatas.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved