Aceh Utara
Warga Desak Jalur Alternatif yang Layak, Penutupan Jalan Elak di Muara Dua Dinilai Langgar Aturan
Penutupan ini dinilai bukan hanya menyulitkan warga, tetapi juga melanggar aturan dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik....
Penulis: Jafaruddin | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Jafaruddin | Aceh Utara
SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Warga Kota Lhokseumawe mendesak pihak rekanan membangun jalur alternatif yang layak, menyusul penutupan total Jalan Elak di Gampong Alue Awe, Kecamatan Muara Dua untuk penanganan drainase ruas jalan dari mulai pertengahan Juni 2025, hingga kini.
Penutupan ini dinilai bukan hanya menyulitkan warga, tetapi juga melanggar aturan dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
Proyek pembangunan jembatan di lokasi tersebut dikerjakan oleh PT Dua Berlian Group dengan sumber dana dari APBN Rp 4,8 miliar.
Namun penutupan total akses jalan dilakukan tanpa menyediakan jalur alternatif bagi kendaraan roda empat, seperti mobil pribadi milik warga yang sehari-hari melintasi kawasan itu.
Akibatnya, aktivitas warga lumpuh melalui jalur tersebut dan jalur alternatif, sehingga beban ekonomi bertambah.
“Kalau ada orang sakit, harus digotong ke jalan utama dulu. Kalau hujan, becek, motor pun susah lewat. Kami cuma minta jalur alternatif yang layak, bukan macam-macam,” ujar Heri warga Kecamatan Muara Dua Lhokseumawe kepada Serambinews.com, Jumat (4/7/2025).
Sejumlah warga mengaku harus memutar jauh untuk sampai ke tujuan, menambah pengeluaran bahan bakar, bahkan terpaksa menggunakan becak untuk membawa orang sakit atau barang dagangan.
Pedagang kecil menjadi kelompok paling terdampak karena jalur distribusi mereka terhambat dan biaya operasional meningkat.
Seorang praktisi hukum Universitas Malikusaleh Muksalmina, SHI MH kepada Serambinews.com, Jumat (4/7/2025), menegaskan bahwa penutupan total Jalan Elak melanggar Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, yang menyatakan bahwa dalam hal perbaikan jalan yang dapat mengganggu lalu lintas, penyelenggara jalan wajib menyediakan rambu-rambu dan jalan alternatif.
“Kewajiban menyediakan jalur alternatif itu sifatnya imperatif, bukan anjuran. Alasan ‘tidak ada anggaran’ menunjukkan lemahnya perencanaan Andalalin (Analisis Dampak Lalu Lintas). Ini adalah bentuk maladministrasi yang bisa dilaporkan ke Ombudsman,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa jalan nasional berada di bawah tanggung jawab Kementerian PUPR dan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN).
Menurutnya, jika penutupan ini terus merugikan masyarakat, warga memiliki hak untuk menggugat secara hukum.
“Berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004, serta PERMA Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), masyarakat dapat mengajukan gugatan ke PTUN,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kebijakan yang diambil saat ini bertentangan dengan prinsip Good Governance, karena tidak memberikan kepastian hukum, manfaat, transparansi, dan perlindungan kepentingan masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.