Waspada! 13 Merek Beras Diduga Oplosan Dijual ke Masyarakat, Satgas Pangan Periksa Perusahaan Curang

Sebanyak 10 perusahaan terbesar yang terindikasi melakukan praktik curang telah diperiksa Satgas Pangan.

|
Editor: Faisal Zamzami
freepik/jcomp
BERAS - Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Bareskrim Polri resmi mengungkap 212 merek beras premium dan medium yang diduga melanggar regulasi mutu dan takaran.  

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA — Skandal beras oplosan kembali mencuat ke publik.

Beredar dugaan merek beras oplosan yang dijual bebas di minimarket hingga pusat perbelanjaan.

Beredarnya merek beras oplosan tersebut ditemukan Satgas Pangan Polri.

Rupanya beras-beras oplosan tersebut melanggar aturan mutu dan takaran.

Setidaknya ada 13 merek beras oplosan yang ditemukan beredar di pasaran.

Adanya beras-beras oplosan tersebut terungkap setelah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri melakukan pemeriksaan ke sejumlah perusahaan produsen dan distributor beras.

Ditemukan dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam produk yang beredar di pasaran.

Hal tersebut dibenarkan Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Helfi Assegaf.

Menurutnya, proses pemeriksaan pada sejumlah perusahaan besar pun masih berlangsung.

“Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” ujar Dirtipideksus Bareskrim Polri Helfi kepada wartawan, Jumat (11/7/2025), dikutip dari Kompas.com.

Beberapa merek yang dipasarkan antara lain Sania, Sovia, Fortune, dan Siip produksi Wilmar Group.

Lalu, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos buatan Food Station Tjipinang Jaya.

Selanjutnya, Raja Platinum dan Raja Ultima produksi PT Belitang Panen Raya, serta beras merek Ayana produksi PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).

Adapun perusahaan-perusahaan yang dimintai keterangan oleh Satgas Pangan Polri antara lain Wilmar Group, PT Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, dan PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).

Keempatnya diperiksa berdasarkan sampel beras kemasan dari berbagai daerah yang sebelumnya dikumpulkan oleh Satgas Pangan.

Kepala Divisi Unit Beras PT SUL, Carmen Carlo Ongko mengatakan pihaknya menghormati dan mendukung penuh proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Satgas Pangan Polri.

Ia menegaskan pentingnya langkah tersebut demi menjaga kepercayaan publik terhadap rantai pasok pangan nasional.

“Dalam menjalankan operasional bisnis, kami memastikan seluruh proses produksi dan distribusi beras PT SUL dijalankan sesuai dengan standar mutu dan regulasi yang berlaku,” kata Carmen dalam pernyataan resminya, Sabtu (12/7/2025).

Ia menambahkan, pengawasan internal perusahaan dilakukan secara berkala dan ketat, mencakup aspek takaran, kebersihan, serta pelabelan produk.

Menurutnya, perusahaan menjunjung tinggi nilai integritas dan kepatuhan terhadap hukum, serta terus bersikap kooperatif dalam memberikan informasi dan data yang dibutuhkan penyidik.

“Kami belum menerima hasil akhir dari proses pemeriksaan yang berlangsung, namun tetap terbuka terhadap evaluasi dan terus secara rutin melakukan langkah perbaikan demi menjamin kualitas produk untuk masyarakat,” kata Carmen.

Sementara itu, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya, Karyawan Gunarso, mengatakan pihaknya akan melakukan koordinasi dan mengecek lebih lanjut terkait dengan pemeriksaan tersebut.

“Saya akan koordinasi, dan men-cross check dulu,” tegas Karyawan.

Kompas.com sudah berusaha menghubungi Wilmar Group dan PT Belitang Panen Raya, tetapi belum mendapat respons.

Baca juga: 10 Merek Beras Diduga Oplosan, Cek Beras yang Sering Anda Konsumsi, Berikut Tips Memilih Beras Asli

Sementara itu, hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menemukan peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET). 

Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.

Pemeriksaan dilakukan langsung ke pasar-pasar besar di 10 provinsi, menyasar kategori beras premium dan medium. 

Pemeriksaan menyangkut kualitas, takaran berat, dan kesesuaian harga dengan aturan pemerintah.

Hasilnya, dari 136 merek beras premium yang diuji, 85,56 persen tak memenuhi standar mutu, 59,78 persen melampaui HET, dan 21 persen tidak sesuai berat.

Bahkan, banyak kemasan lima kilogram hanya berisi empat kilogram beras.

Kondisi lebih buruk ditemukan pada beras medium.

Dari 76 merek yang diuji, sebanyak 88 persen tidak sesuai mutu, 95 persen melampaui HET, dan 10 persen tidak sesuai takaran.

Temuan ini diperoleh melalui pengujian di 13 laboratorium dan akan segera diverifikasi ulang.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti anomali atau kejanggalan harga beras yang tinggi di pasar, padahal data produksi menunjukkan stok nasional berlimpah. 

Berdasarkan laporan terbaru, produksi beras nasional diperkirakan mencapai 35,6 juta ton, melampaui target 32 juta ton.

Kata Amran, pemerintah tak akan tinggal diam dan siap menindak tegas pihak-pihak yang merugikan masyarakat.

“Kami mengajak semua pelaku usaha beras untuk segera koreksi. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus dihentikan mulai hari ini,” kata Amran, dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Tribunnews.

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons soal hasil investigasi Kementerian Pertanian soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).

Eliza menilai, temuan adanya 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 

Selain itu, ia mengatakan, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. 

"Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat," kata Eliza, saat dihubungi, Kamis (26/6/2025).

Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. 

Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai  40 persen dari nilai tambah produk tersebut.

Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 

Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang.

"Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak," jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut, satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera.

Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok, dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.

Kemudian, lanjutnya, untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan. 

 

Baca juga: Beras Mahal di Aceh Singkil, Dinas Perdagangan Pastikan Stok Aman 

Warga Kecewa Beras Premium Ternyata Oplosan

Sejumlah warga mengaku kecewa setelah terungkap praktik penipuan yang dilakukan oleh sejumlah produsen beras di Indonesia.

Desi (34), warga Jakarta Timur mengaku rutin membeli beras setiap minggu, bahkan kerap memilih beras dengan label premium demi memberikan yang terbaik bagi keluarganya.

“Saya kaget banget ya dengar berita ini. Soalnya saya beli beras kan tiap minggu, kadang pilih yang kemasan premium karena mikirnya pasti lebih bagus buat keluarga,” kata Desi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (13/7/2025).

Namun, setelah mendengar kabar bahwa beras-beras premium diduga oplosan dan berat kemasannya dikurangi, Desi merasa sangat dirugikan.

“Eh ternyata bisa jadi itu beras oplosan, dan beratnya pun dikurangi. Gila aja, kita udah bayar mahal, ternyata ditipu. Ini mah nyakitin rakyat kecil, apalagi yang pas-pasan kayak saya. Kenapa sih semua-muanya ditipu, pakai segala dioplos,” ungkap Desi.


 Hal senada juga disampaikan oleh Aminah (58). Pedagang nasi di kawasan Bogor ini mengaku sangat dirugikan dengan kondisi ini.

Baginya, beras bukan sekadar kebutuhan pokok, tapi juga barang dagangan yang menentukan kelangsungan hidupnya.

“Saya nih jualan buat nyambung hidup, modal pas-pasan. Kalau berasnya ternyata dikurangin beratnya atau kualitasnya nggak sesuai, ya jelas rugi dobel. Nggak cuma saya, semua rakyat kecil yang makan beras tiap hari juga jadi korban,” ucap Aminah.

Ia menambahkan, praktik curang seperti ini sangat menyakitkan bagi masyarakat kecil.

“Kita bayar mahal-mahal, tapi malah ditipu. Yang kaya mah mungkin nggak kerasa, tapi buat kita yang ngitung setiap rupiah, ini sangat merugikan. Harusnya produsen-produsen kayak gitu dihukum berat. Udah bukan bandel lagi, tapi zolim!" lanjut dia.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan bahwa sekitar 212 merek beras terindikasi melakukan pelanggaran.

Bentuk pelanggarannya pun beragam dan sangat merugikan konsumen. Ada yang mengurangi berat bersih dalam setiap kemasan.

Ada pula yang mengoplos beras berkualitas premium dengan beras berkualitas di bawahnya lalu dijual mahal.

“Contoh, ada volume yang mengatakan 5 kilogram, padahal 4,5 kilogram," ungkap Amran melalui video yang diterima Kompas.com, Sabtu (12/7/2025).

“Kemudian, ada yang mengatakan bahwa ini (produk) premium, padahal itu adalah beras biasa," lanjut dia.


Praktik mengoplos beras itu bisa menyebabkan selisih harga Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per kilogram lebih mahal dibandingkan harga asli.

Jika praktik ini berlangsung selama 10 tahun, kata Amran, kerugian bisa mencapai Rp 1.000 triliun.

Oleh karena itu, ia telah melaporkan temuan ini ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Ia juga meminta agar produsen-produsen nakal itu segera ditindak tegas secara hukum.

“Katakanlah 10 tahun (praktik penipuan dilakukan), Rp 1.000 triliun. Kalau 5 tahun Rp 500 triliun. Ini kerugian," lanjut dia.

Ia sekaligus mengimbau kepada seluruh produsen beras se-Indonesia untuk bersikap jujur.

“Pengusaha beras seluruh Indonesia, jangan melakukan hal serupa. Tolong menjual beras sesuai standar yang sudah ditentukan," tegas Amran.

Baca juga: Forum Ketua Koperasi Merah Putih Se-Banda Aceh Silaturahmi  dengan Kantor Pusat BTN Syariah Aceh 

Baca juga: Daftar Nama 8 Korban Tewas akibat Truk Terguling di Toraja Utara Sulsel, Belasan Lainnya Terluka

Baca juga: Lelah Menunggu BSU 2025 Tak Kunjung Cair? Waspada Jangan Klik Link Cek Tanpa NIK, Bisa Jadi Penipuan

Sudah tayang di Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved