Jurnalisme Warga
Berita Duka dan Stiker WA: Empati Tak Bisa Instan
Saya pun mulai memikirkan fenomena ini dengan lebih dalam, coba memahami apakah hal seperti ini adalah konsekuensi dari zaman atau
ASRINALDI, Dosen Desain Komunikasi Visual Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar
Suatu sore di teras Gedung ISBI Aceh, sembari menatap indahnya perbukitan Jantho yang mulai berwarna merah jingga, handphone saya berdering bertubi-tubi. Ketika dibuka, ternyata pesan dari grup WhatsApp (WA) komunitas: kabar duka, salah satu anggota kehilangan ayahandanya. Tak lama kemudian, anggota grup mulai mengirimkan stiker bertuliskan “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, “Al-Fatihah”, dan sejenisnya. Bentuk dan warnanya beragam, tapi itu-itu saja. Pelan-pelan, terbersit pertanyaan di benak saya: benarkah para pengirim stiker itu benar-benar sedang berduka dan berempati?
Saya pun mulai memikirkan fenomena ini dengan lebih dalam, coba memahami apakah hal seperti ini adalah konsekuensi dari zaman atau ada sesuatu yang salah dalam cara kita berinteraksi.
Reportase ini tidak hendak menghakimi benar atau salahnya penggunaan stiker dalam berkomunikasi, terutama saat merespons kabar duka. Akan tetapi, ini adalah ajakan untuk kita semua merefleksikan kembali cara berkomunikasi kita di era digital.
Barangkali, sudah waktunya kita bertanya: apakah teknologi telah mengubah rasa kemanusiaan kita atau justru kita sendiri yang membiarkan rasa itu terkikis sedikit demi sedikit?
Memang, teknologi komunikasi berkembang sangat pesat. Lewat platform seperti WA, kita dapat menyampaikan pesan teks, suara, gambar, hingga stiker dalam hitungan detik. Namun, apakah kecepatan itu selalu sejalan dengan kedalaman makna?
Sering kali kita terjebak dalam ilusi bahwa semakin cepat kita merespons, semakin baik pula kualitas komunikasi yang kita lakukan. Padahal, tidak selalu demikian. Menggunakan stiker sebagai satu-satunya bentuk respons terhadap kabar duka, ibarat menyapa orang yang sedang berduka dengan topeng datar. Secara visual, mungkin stiker itu tampak "cukup", tetapi secara emosional, ia tidak menyentuh. Desain komunikasi visual (DKV) justru mendorong kita untuk memikirkan “pesan di balik bentuk” dan mendorong lahirnya bentuk komunikasi yang lebih tulus dan manusiawi, meski disampaikan lewat medium digital.
Pesan yang datang dari hati akan terasa berbeda, bahkan jika hanya berupa kata-kata sederhana tanpa hiasan visual.
Berkomunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga membawa nilai-nilai kemanusiaan. Pada kabar duka misalnya, tidak ada ruginya kita meluangkan waktu lima menit saja (itu pun sudah cukup lama) untuk mengetikkan pesan dukacita yang tulus atau bahkan melakukan panggilan langsung sekadar bertanya kabar dan menyampaikan doa keteguhan hati bagi yang ditinggalkan. Usaha kecil semacam itu justru jauh lebih menyentuh karena lahir dari empati yang nyata, bukan sekadar respons otomatis tanpa sentuhan yang berarti.
Bayangkan posisi kita jika menjadi pihak yang berduka, tentu kita mengharapkan sentuhan yang lebih hangat daripada sekadar gambar digital yang terasa hambar.
Empati sosial
Dalam konteks ini, stiker WA adalah bagian dari budaya komunikasi visual digital. Stiker diciptakan untuk efisiensi, tapi sering kali kehilangan sisi personalitas dan kehangatan emosional. Di sinilah ilmu DKV menjadi relevan untuk dibahas.
Bagaimana kita bisa memanfaatkan media visual tanpa menghilangkan esensi kemanusiaan? Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, terutama bagi masyarakat yang ingin menjaga harmoni sosial di era modern.
DKV tidak hanya mengajarkan cara menciptakan bentuk visual yang menarik, tetapi juga bagaimana menyampaikan pesan dan rasa melalui visual secara tepat dan menyentuh. Keilmuan ini mendorong kita berpikir tentang hubungan antara bentuk dan makna. Ketika visual menjadi terlalu generik dan dipakai massal tanpa konteks, maka kekuatan komunikasinya menjadi tumpul. Seolah-olah pesan yang dikirimkan hanya formalitas belaka, tanpa ruh dan kedalaman rasa.
Stiker belasungkawa, betapa pun dirancang dengan niat baik, tidak akan pernah mampu menggantikan ketulusan dari kalimat seperti, “Kami turut berduka. Semoga almarhum husnul khatimah dan keluarga diberi ketabahan.” Kalimat yang ditulis sendiri, bahkan tanpa ilustrasi sekalipun, bisa jauh lebih berarti.
Di balik kalimat yang diketik sendiri, ada waktu dan perhatian yang sengaja diberikan, dan itu yang membuatnya lebih bermakna.
Nilai lokal Aceh
Aceh dikenal dengan budaya sosial yang menjunjung tinggi nilai ‘peumulia jamee’ (memuliakan tamu) dan ‘meusapat’ (musyawarah). Ini adalah nilai-nilai yang menempatkan hubungan manusia dalam kehangatan sosial dan empati yang tinggi. Dalam budaya Aceh, jika ada warga yang berduka, biasanya orang-orang berdatangan langsung ke rumah, mengantar makanan, atau duduk sebentar menyampaikan belasungkawa.
Kehadiran fisik seperti itu membawa energi yang berbeda; sebuah ungkapan rasa yang tidak bisa digantikan oleh media digital.
Kini, saat komunikasi beralih ke ruang digital, semangat itu seakan mulai luntur. Bahkan di grup-grup WA komunitas Aceh sendiri, mulai terlihat gejala respons-respons instan yang tidak lagi mencerminkan empati sosial yang dulu begitu kuat. Apakah teknologi membuat kita lupa akar budaya kita sendiri?
Jika ya, kita perlu waspada agar jangan sampai nilai luhur yang diwariskan nenek moyang hilang hanya karena kita terlalu sibuk mengikuti arus perkembangan zaman.
Maka dari itu, ketika masyarakat Aceh, yang dikenal dengan nilai-nilai kesantunan, empati, dan solidaritasnya, mulai terbiasa menggunakan media visual seperti stiker untuk menyampaikan belasungkawa tanpa usaha yang berarti, hal ini patut direnungkan ulang. Kita perlu bertanya: apakah budaya digital yang kita bangun hari ini masih sejalan dengan akar nilai lokal yang kita junjung?
Pertanyaan ini penting bukan hanya untuk dijawab, tetapi juga untuk dijadikan bahan refleksi dalam setiap interaksi digital kita sehari-hari. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat, khususnya di Aceh, membangun budaya komunikasi digital yang tetap berakar pada nilai-nilai lokal. Kita tidak anti teknologi, tapi kita tidak boleh hanyut dalam arus instan yang secara perlahan mengikis sisi kemanusiaan.
Membangun kesadaran bersama bisa jadi kunci agar teknologi menjadi alat untuk memperkuat relasi, bukan merenggangkannya.
Soal rasa
Empati bukanlah sesuatu yang otomatis. Ia memerlukan waktu, perhatian, dan kesediaan untuk hadir membawa “rasa” meski hanya dalam bentuk pesan teks yang ditulis sendiri. Sebagai pesan juga pada diri saya sendiri dan rekan-rekan, mari kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penggagas budaya komunikasi yang lebih bermakna dan sejalan dengan akar budaya tempat kita berpijak. Karena, ruang komunikasi digital bukanlah dunia yang terpisah, melainkan sudah menjadi bagian hidup dan kehidupan dalam bermasyarakat.
Kita semua punya peran dalam memastikan ruang digital tidak menjadi ruang yang dingin dan “kering".
Stiker WA maupun simbol-simbol komunikasi visual yang hadir di tengah kita begitu beragam. Ada keilmuan khusus yang membahas tentang hal itu, yang disebut dengan Desain Komunikasi Visual. Keilmuan tersebut mengajarkan kita bahwa visual bukan hanya soal bentuk, melainkan juga soal rasa (empati). Maka, mari kita bawa kembali rasa ke dalam layar agar komunikasi kita tidak hanya cepat, tapi juga hangat dan manusiawi. Sebab, di balik setiap layar, masih ada hati yang bisa disentuh, ada air mata yang bisa kita usap, dan ada pilu yang bisa kita tenangkan dengan pelukan, asal kita mau.
Jika kita mau meluangkan sedikit waktu dan perhatian, maka teknologi yang semula dingin bisa berubah menjadi sarana untuk menyampaikan kehangatan hati.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/asrinaldi-949.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.