Kupi Beungoh
Lahir Sekali Lagi sebagai Pemuda
Saya pernah duduk di sebuah forum. Seorang anak muda memperkenalkan diri. Namanya biasa saja. Tapi . . .
*) Oleh: Alwy Akbar Al Khalidi
SAYA ingat sebuah kutipan yang begitu keras, sekaligus menyentuh.
Kalimat itu berasal dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Katanya: “Pemuda adalah mereka yang berani berkata inilah aku. Bukan yang berkata; inilah ayahku.”
Saya tertegun.
Di tengah zaman yang penuh sambungan, koneksi, privilege, dan nepotisme yang dibungkus kata “jalur keluarga”, kalimat ini terasa seperti sabetan cambuk. Pedih. Tapi menyadarkan.
Kita hidup di masa ketika banyak yang sibuk memperkenalkan siapa ayahnya, siapa pamannya, atau siapa teman ayahnya. Seolah identitas pribadi belum cukup meyakinkan untuk membuka pintu-pintu kesempatan.
Saya pernah duduk di sebuah forum. Seorang anak muda memperkenalkan diri. Namanya biasa saja. Tapi setelah tiga menit, ia menyebut siapa ayahnya, siapa kolega ayahnya, dan siapa mertuanya. Ia bukan sedang memperkenalkan dirinya, ia sedang membacakan silsilah keluarganya.
Saya hanya tersenyum kecil. Dalam hati, saya membandingkan. Saya sendiri tak punya daftar semacam itu. Tak bisa berkata, “Saya anak si anu.” Bahkan kadang nama saya pun tak dikenal. Tapi justru dari situlah saya belajar berdiri. Bahwa membangun diri sendiri meski tanpa nama besar di belakang adalah jalan sunyi yang membentuk keberanian.
Sejak kapan kita begitu takut untuk berdiri dengan nama sendiri?
Padahal, sejarah Islam mencatat, Sayyidina Ali tak seperti itu. Ia menjadi dirinya sendiri sejak kecil. Saat orang dewasa di sekelilingnya masih ragu kepada ajaran Nabi Muhammad, Ali kecil justru yang pertama bersaksi dan memeluk Islam.
Ia tidak menunggu ayahnya Abu Thalib. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia memilih sendiri, berdiri sendiri, dan jika perlu: menanggung sendiri.
Saya sering berpikir, kenapa keberanian semacam ini makin langka di hari ini?
Mungkin karena kita dibesarkan dalam budaya yang terlalu memanjakan. Yang membuat kita terbiasa mengandalkan nama orang lain. Bahkan untuk meyakinkan orang bahwa kita layak dipercaya — kita sebut siapa “di belakang” kita. Seolah berkata “inilah aku” adalah tindakan bodoh dan bunuh diri sosial.
Padahal, justru dari situlah seorang pemuda diuji. Apakah ia cukup percaya diri dengan kualitasnya sendiri. Apakah ia siap menanggung resiko dari keputusan pribadinya.
Saya tidak sedang anti keluarga. Bukan juga anti jejaring. Tapi saya percaya, pemuda hari ini harus lebih banyak bicara tentang visi, bukan silsilah. Tentang kemampuan, bukan koneksi. Tentang rencana ke depan, bukan nostalgia masa lalu.
Kita sering berkata, “Yang muda yang berkarya.” Tapi terlalu banyak yang muda justru sibuk membanggakan siapa yang dikenalnya. Sementara yang berkarya? Justru sering tak punya siapa-siapa.
“Nilai seseorang tergantung pada apa yang ia lakukan dengan tangannya sendiri.” Itu cukup jelas. Kalau hidup ini hanya mengulang reputasi orang tua, buat apa kita dikaruniai hidup baru?
Barangkali, tantangan terbesar generasi muda hari ini bukan kemiskinan. Tapi keberanian. Berani gagal, berani ditertawakan, berani dicaci, dan tetap berkata: “Inilah aku.” Bukan berlindung di balik nama besar, lalu diam-diam menagih hak istimewa.
Kalau begitu, bolehlah kita bertanya:
Apakah saya benar-benar muda?
Atau cuma belum cukup tua untuk berhenti bergantung? (*)
*) PENULIS adalah Kandidat Doktor Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.