Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Loyang Mandale dan Manusia Pertama Aceh – Bagian III
Dalam skema besar migrasi manusia, Sumatra bagian utara, terutama Aceh, memegang posisi yang sangat penting.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
JAUH sebelum Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan, dataran luas yang kita sebut hari ini sebagai Nusantara pernah terhubung dengan daratan Asia dalam formasi raksasa bernama Sundaland.
Kala air laut masih rendah akibat zaman es, manusia dari Afrika Timur, spesies Homo sapiens yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya sekitar 60.000 tahun lalu, mulai menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Di antara mereka ada yang memilih jalur selatan, menyusuri pesisir India, lalu tiba di Asia Tenggara, dan kemudian ke bagian barat Nusantara, termasuk Sumatra.
Dalam skema besar migrasi manusia, Sumatra bagian utara, terutama Aceh, memegang posisi yang sangat penting.
Wilayah ini bukan hanya menjadi tempat persinggahan, tetapi juga ruang tinggal dan berkembang bagi manusia awal yang membawa serta warisan genetik, budaya, dan teknologi dari Afrika.
Meski dahulu tidak banyak disorot dibandingkan Jawa atau Sulawesi, dalam dua dekade terakhir, Aceh mulai mengungkap tabir masa purbanya lewat temuan-temuan penting.
Salah satunya di Goa Loyang Mendale, yang terletak di Kabupaten Aceh Tengah, di dataran tinggi Gayo.
Loyang Mandale bukan sekadar gua berisi tulang-belulang, tapi adalah jendela masa lalu.
Dalam ekskavasi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan bersama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, ditemukan kerangka manusia purba yang diperkirakan berasal dari sekitar 7.300 tahun silam.
Dalam analisis DNA-nya, tim peneliti menemukan bahwa individu ini menunjukkan kesamaan genetik dengan masyarakat Gayo masa kini.
Ini merupakan penemuan yang sangat langka, karena di hampir semua situs arkeologi prasejarah di Asia Tenggara, sulit sekali menemukan hubungan genetik langsung antara manusia prasejarah dan populasi lokal modern.
Baca juga: Wisata Sejarah di Aceh Tengah, Kerangka Manusia Ceruk Mendale Tanda Nenek Moyang Orang Gayo
Gayo yang istimewa
Biasanya, sejarah genetik manusia purba terputus oleh gelombang migrasi baru, perkawinan campuran, atau bahkan kepunahan.
Namun, di Loyang Mendale, rantai itu tampak masih utuh.
Artinya, ada kontinuitas genetik yang relatif terjaga antara manusia Gayo modern dan leluhur mereka ribuan tahun lalu.
Dalam konteks ini, masyarakat Gayo bukan hanya pewaris budaya lisan atau tradisi, tapi juga benar-benar anak kandung dari tanah dan sejarah “super klasik” yang mereka pijak.
Dalam lanskap sejarah panjang Asia Tenggara, keberadaan etnis Gayo seringkali berada di pinggiran narasi besar.
Tapi temuan ini mengangkat Gayo ke pusat panggung.
Mereka bukan sekadar penutur bahasa dari rumpun Austronesia, melainkan juga salah satu jejak terakhir dari apa yang oleh sebagian ahli disebut sebagai “Melayu Tua.”
Istilah ini merujuk pada kelompok manusia yang datang lebih awal ke wilayah Nusantara sebelum gelombang migrasi besar dari Taiwan yang melahirkan rumpun Melayu Tua, para pembawa kebudayaan Austronesia yang lebih dominan.
Melayu Tua sering diidentikkan dengan masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman, pegunungan, atau daerah-daerah yang kurang tersentuh kolonisasi dan urbanisasi.
Mereka membawa tradisi megalitik, sistem kepercayaan animistik, serta teknologi pertanian sederhana.
Dalam konteks Gayo, tradisi upacara, pola permukiman, dan bahkan sistem sosialnya mengandung banyak unsur konservatif yang dapat ditelusuri hingga masa prasejarah.
Temuan di Mandale memperkuat dugaan ini.
Bahwa Gayo bukan hanya simbol identitas lokal Aceh, tetapi juga memuat warisan manusia awal yang membawa serta fragmen sejarah Homo sapiens dari gelombang pertama migrasi ke Asia Tenggara.
Namun yang lebih penting dari semua ini adalah bagaimana ilmu pengetahuan, khususnya arkeogenetika, mulai membentuk narasi baru tentang identitas lokal dan nasional.
Baca juga: Ketua Tim Peneliti Ceruk Mendale Ketut Wiradnyana: Kopi Gayo jadi Sumber Inspirasi
Objektif memahami siapa kita
Di tengah maraknya politik identitas dan tarik-menarik antara etnisitas, agama, dan nasionalisme, temuan-temuan seperti di Loyang Mandale menawarkan landasan yang lebih objektif untuk memahami siapa kita.
Temuan itu mengajak masyarakat untuk melihat bahwa identitas bukan hanya hasil dari narasi elite atau doktrin agama-politik, tetapi juga tertanam dalam tulang, darah, dan tanah.
Dampaknya bisa jauh melampaui ruang akademik.
Di tingkat lokal, kesadaran bahwa masyarakat Gayo memiliki akar genetis langsung dengan manusia prasejarah dapat mendorong kebijakan pelestarian budaya yang lebih kuat.
Pemerintah daerah dapat memanfaatkan temuan ini untuk merumuskan kurikulum sejarah lokal, memperkuat museum dan pusat budaya, serta menumbuhkan pariwisata berbasis warisan arkeologi.
Lebih jauh, hal ini juga bisa menjadi argumen kuat untuk mendesak pengakuan dan perlindungan atas tanah ulayat serta sistem sosial tradisional Gayo yang selama ini terpinggirkan dalam arus pembangunan nasional.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan situs prasejarah lain di Nusantara seperti Gua Leang Bulu Sipong di Sulawesi atau Gua Niah di Sarawak, Malaysia, maka Loyang Mandale memiliki keunikan tersendiri.
Gua-gua di Sulawesi memang menyimpan lukisan dinding tertua di dunia, tapi tidak menawarkan kontinuitas genetik dengan penduduk setempat.
Begitu pula di Gua Niah, meskipun ditemukan kerangka manusia berusia 40.000 tahun, populasi lokal kini telah bercampur dengan gelombang migrasi Austronesia dan kolonial.
Dalam konteks inilah, Mandale justru menawarkan kontinuitas yang jarang.
Bukan hanya artefak, tapi juga identitas biologis yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Teka-teki manusia purba Aceh mulai menemukan fragmen jawaban, tapi seperti semua ilmu, ia juga membuka pertanyaan baru.
Apakah ada situs-situs lain di Aceh atau Sumatra Utara yang menyimpan rahasia serupa?
Apakah temuan di Mandale dapat dihubungkan dengan migrasi Austroasiatik, atau bahkan jejak Denisovan seperti yang ditemukan di gua Denisova, Siberia, dan pulau Flores?
Seberapa besar peran dataran tinggi Gayo sebagai benteng terakhir dari populasi Homo sapiens awal di Nusantara?
Pertanyaan-pertanyaan itu menunggu dijawab oleh generasi ilmuwan berikutnya, oleh pemuda Gayo yang memutuskan untuk belajar arkeologi, oleh kepala desa yang melindungi situs sejarah, atau oleh pemerintah yang serius melihat kebudayaan sebagai aset, bukan beban.
Apresiasi tinggi untuk Gayo
Loyang Mandale telah membuka pintu masa lalu.
Kini tinggal bagaimana kita memasukinya dengan hormat dan penuh rasa ingin tahu.
Dengan demikian, manusia purba Aceh bukan hanya lembaran usang dalam buku sejarah, tapi fondasi hidup dari siapa kita hari ini.
Dan teka-teki itu, alih-alih menjadi misteri yang mengasingkan, justru menjadi simpul yang menyatukan.
Bahwa di antara gelombang migrasi, perang, dan perubahan, selalu ada jejak yang tak pernah hilang, tertanam di tanah, tersimpan dalam darah.
Masyarakat Gayo layak menerima apresiasi yang tinggi, karena mereka telah menjaga adat dan budaya leluhur dengan keteguhan luar biasa.
Dalam perjalanan kehidupan yang berymur ribuan tahun, secara tak langsung mereka telah menjadi penjaga warisan genetik dan sejarah yang sangat berharga bagi Indonesia dan dunia.
Di tengah arus modernisasi dan tekanan globalisasi, orang Gayo tetap teguh mempertahankan nilai-nilai lokal, sistem pengetahuan tradisional, serta hubungan yang harmonis dengan alam.
Kini, dengan ditemukannya kesinambungan genetik antara leluhur Loyang Mandale dan masyarakat Gayo masa kini, keteguhan itu terbukti tidak hanya bermakna kultural, tetapi juga ilmiah dan historis.
Masyarakat Gayo bukan sekadar pewaris, mereka adalah saksi hidup dari rentang waktu ribuan tahun yang menghubungkan manusia awal dan peradaban masa kini.
Sekalipun kalimat ini berbunyi tentatif arkeologis, manusia loyang Mandale tak terbantahkan sebagai manusia pertama untuk sekeping bumi yang bernama Aceh.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
pojok humam hamid
sejarah Aceh
Sundaland
Loyang Mendale
Manusia Purba
gayo
Aceh Tengah
manusia purba di gayo
Sejarah Gayo
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan |
![]() |
---|
Proposal Trump, Otoritas Teknokratis, dan Prospek Damai Palestina |
![]() |
---|
MSAKA21 - Kerajaan Lamuri: Maritim, Inklusif, dan Terbuka – Bagian XII |
![]() |
---|
Kekonyolan Bobby dan “Hikayat Ketergantungan”: Yunnan, Bihar, Minas Gerais, dan Aceh |
![]() |
---|
Ironi Palestina: Koalisi Keuangan Internasional dan Retak Internal Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.