Breaking News

Infrasruktur

5 Tahun Rehab Irigasi Krueng Pase Belum Selesai, Dosen Unimal: Ketahanan Pangan Sandiwara Politik

Untuk diketahui Proyek yang dimulai pada 2021 dengan nilai kontrak Rp 44,8 miliar itu mengalami stagnasi setelah gagal diselesaikan oleh PT Rudi Jaya.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Nazaruddin MAP, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik Prodi Administrasi Publik, FISIP, Unimal.  

Laporan Jafaruddin l Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON – Kasus mangkraknya proyek rehabilitasi Bendungan Krueng Pase di Aceh Utara bukan sekadar kegagalan teknis dalam pembangunan infrastruktur, melainkan potret telanjang dari rusaknya tata kelola publik di Indonesia.

Untuk diketahui Proyek yang dimulai pada 2021 dengan nilai kontrak Rp 44,8 miliar itu mengalami stagnasi setelah gagal diselesaikan oleh PT Rudi Jaya.

Alih-alih ada langkah pemulihan (recovery), proyek justru dilanjutkan dengan sisa anggaran Rp 22,8 miliar melalui kontraktor baru—tanpa jaminan penyelesaian dan tanpa kepastian untuk ribuan petani yang telah menderita selama lebih dari empat tahun.

Baca juga: Normalisasi Bikin Irigasi Kekeringan, Petani di Atam Terancam Gagal Panen

Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I sebagai penanggung jawab teknis proyek dituding abai dalam seleksi, pengawasan, dan pengendalian.

“Kegagalan ini mencerminkan lima patologi sistemik: inkompetensi birokrasi, rekayasa pencitraan, pengabaian hak dasar warga, fragmentasi tanggung jawab, dan pengkhianatan terhadap agenda ketahanan pangan nasional,” ujar Nazaruddin MAP, Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Administrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh, kepada Serambinews.com, Sabtu (2/8/2025). 

Menurut mantan aktivis mahasiswa ini, persoalan tersebut bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bentuk pembiaran struktural.

“Proyek strategis ini berubah menjadi tragedi birokrasi,” ujar Nazaruddin

Mantan Ketua BEM Unimal ini juga mengarahkan kritik tajam pada pemerintah daerah yang dianggap mempermainkan persepsi publik.

Saat kunjungan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ke Aceh Utara pada Desember 2024, lokasi yang ditunjukkan adalah Lhoksukon—area yang masih dialiri air. Padahal, kerusakan dan kekeringan paling parah terjadi di kawasan Tanah Luas.

Kunjungan tersebut disertai dengan pembagian alat dan mesin pertanian (alsintan) serta apel brigade pangan, yang dinilai sebagai simulasi kebijakan semata.

“Apa artinya traktor jika sawahnya kering? Ini seperti memberi kail di padang pasir,” ujarnya.

Lima tahun tanpa air irigasi telah menghancurkan 8.922 hektare sawah dan merugikan petani hingga Rp 4 triliun.

Banyak keluarga terpaksa menjual lahan, ternak, atau menjadi buruh harian demi bertahan hidup. Situasi ini mengarah pada pelanggaran hak dasar warga, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

“Ini bukan lagi sekadar keterlambatan proyek. Ini adalah bentuk genosida penghidupan (livelihood genocide) yang terjadi secara terencana dan sistematis,” kata Nazar.  

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved