KUPI BEUNGOH

80 Tahun Merdeka: Saatnya Mengingat Kembali Jantung Perjuangan dari Tanah Rencong

Tanah itu adalah Aceh Tanah Rencong sebuah wilayah yang menjadi jantung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. Iswadi, M.Pd, Dosen Universitas Esa Unggul-Jakarta 

Oleh: Dr. Iswadi, M.Pd*)

Delapan dekade sudah Indonesia menghirup udara kemerdekaan. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi titik balik sejarah bangsa ini, saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan atas nama seluruh rakyat Indonesia. 

Namun, di balik gegap gempita perjuangan nasional, ada sebuah tanah di ujung barat nusantara yang tak pernah letih menyuarakan kemerdekaan, bahkan jauh sebelum 1945. 

Tanah itu adalah Aceh Tanah Rencong sebuah wilayah yang menjadi jantung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Aceh bukan sekadar bagian dari peta Indonesia; ia adalah simbol keteguhan, keberanian, dan harga diri. 

Sejak abad ke-16, rakyat Aceh telah menunjukkan keteguhan dalam menghadapi penjajahan Portugis, Belanda, hingga Jepang. 

Kesultanan Aceh Darussalam, dengan tokoh tokoh seperti Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin, memainkan peran besar dalam membangun kekuatan politik dan militer yang tangguh, serta menyebarkan Islam ke seantero Nusantara.

Perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme bahkan menjadi inspirasi nasional. 

Ketika Belanda mulai menancapkan kuku penjajahannya melalui ekspedisi militer ke Aceh pada tahun 1873, mereka tak menyangka bahwa akan menghadapi perlawanan terpanjang dan tergigih sepanjang sejarah penjajahan mereka di Indonesia.

 Perang Aceh berlangsung lebih dari 30 tahun dan menelan puluhan ribu nyawa baik dari pihak Belanda maupun rakyat Aceh. 

Baca juga: HUT Ke-80 RI, Pangdam IM Ajak Warga Aceh Pasang Ornamen Merah Putih di Tiap Sudut

Nama-nama seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Teungku Chik di Tiro bukan hanya pahlawan Aceh, melainkan pahlawan Indonesia.

Teuku Umar, seorang pejuang yang dikenal dengan strategi gerilyanya, sempat berpura-pura bekerja sama dengan Belanda hanya untuk mengambil senjata dan logistik, lalu kembali menyerang dengan kekuatan yang lebih besar.

 Cut Nyak Dhien, istrinya, melanjutkan perjuangan dengan semangat yang tak pernah padam meski harus kehilangan suami dan hidup dalam penderitaan. 

Kisah heroik mereka bukan hanya tentang perlawanan fisik, tapi juga tentang keteguhan hati dan kecintaan yang luar biasa pada tanah air.

Tak hanya dalam perlawanan bersenjata, dukungan Aceh terhadap Republik Indonesia juga nyata secara materi. 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, saat Indonesia masih merangkak dan berjuang untuk mempertahankan eksistensinya di mata dunia, Aceh tampil sebagai penyokong utama. 

Masyarakat Aceh mengumpulkan emas dan dana untuk membeli pesawat yang kemudian menjadi armada pertama penerbangan nasional, Seulawah RI-001. 

Sumbangan ini bukan sekadar bantuan, tetapi simbol bahwa Aceh menganggap perjuangan Indonesia sebagai perjuangan sendiri.

Namun, sejarah panjang pengorbanan Aceh kadang terlupakan dalam narasi besar kemerdekaan. 

Di buku pelajaran, nama-nama seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien memang disebutkan, tetapi semangat kolektif dan kontribusi Aceh secara menyeluruh sering kali dipinggirkan. 

Padahal, tanpa semangat dan keteladanan dari Tanah Rencong, kisah kemerdekaan Indonesia tidak akan seutuh ini.

Kini, di usia ke-80 tahun kemerdekaan, sudah saatnya bangsa ini kembali menoleh ke barat, ke Serambi Mekkah, dan menyadari bahwa kemerdekaan bukan hanya diperjuangkan oleh tokoh-tokoh di pusat kekuasaan.

 Ia juga ditopang oleh darah, air mata, dan semangat dari daerah-daerah seperti Aceh yang tak pernah ragu mempertaruhkan segalanya demi tanah air.

Aceh layak dapat tempat istimewa

Peringatan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya ajang seremoni dan nostalgia, tetapi momen refleksi mendalam: bagaimana kita memperlakukan sejarah, bagaimana kita mengenang perjuangan, dan bagaimana kita menghargai para pejuang dari daerah. 

Aceh layak mendapatkan tempat istimewa dalam ingatan kolektif bangsa. Bukan hanya karena keberaniannya, tetapi karena konsistensinya dalam mendukung republik ini dari masa perang fisik, hingga masa rekonstruksi pascakonflik dan tsunami.

Lebih dari itu, semangat keacehan dalam perjuangan juga bisa menjadi inspirasi masa kini. 

Di era modern ini, tantangan bangsa bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik, tapi dalam bentuk kesenjangan, ketidakadilan, dan pengikisan identitas. 

Semangat pantang menyerah, solidaritas sosial, dan keberanian bersuara seperti yang ditunjukkan rakyat Aceh di masa lalu, bisa menjadi nilai nilai penting dalam membangun Indonesia ke depan.

Baca juga: Prabowo Beri Hadiah Kemerdekaan, Tetapkan 18 Agustus 2025 Jadi Hari Libur

Sudah saatnya kita menulis ulang narasi kemerdekaan Indonesia dengan lebih adil. Memasukkan cerita-cerita dari Tanah Rencong sebagai bagian integral dari perjalanan bangsa. 

Memuliakan sejarah bukan hanya melalui patung atau nama jalan, tetapi dengan pemahaman yang utuh, penghargaan yang tulus, dan kebijakan yang inklusif terhadap daerah-daerah yang dulu menopang republik ini sejak lahir.

Merdeka tidak berarti lupa. Delapan puluh tahun setelah bendera Merah Putih dikibarkan untuk pertama kali, mari kita kibarkan pula kesadaran untuk mengingat siapa saja yang telah mengorbankan segalanya demi merah putih itu. Dan di antara mereka, Aceh berdiri gagah, sebagai jantung perjuangan yang tak pernah berhenti berdetak.

*) PENULIS adalah Dosen Universitas Esa Unggul, Jakarta

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved