Wawancara Eksklusif

Terpikat Aneka Rasa Kopi Aceh

Kalau di Aceh jam 9 malam, orang baru berangkat untuk ngopi. Ini menandakan Aceh itu aman dan nyaman. Yudi Triadi

Editor: mufti
COVER KORAN SERAMBI INDONESIA
HEADLINE SERAMBI INDONESIA 

Saya bilang ngopi sampai jam 12 malam masih aman, kalau di tempat lain jam 9 sudah tutup. Kalau di Aceh jam 9 malam, orang baru berangkat untuk ngopi. Ini menandakan Aceh itu aman dan nyaman. Yudi Triadi, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh

PENGANTAR - Baru tiga bulan menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Yudi Triadi SH MH mulai menyelami kehidupan dan kultur lokal Tanoh Rencong. Dilantik oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Rabu 23 Juli 2025 menggantikan Joko Purwanto, penempatan ini menjadi pengalaman perdana bagi Yudi bertugas dalam menjejakkan kakinya di Aceh.

Sebelumnya, saat menjabat sebagai Kepala Bagian Reformasi dan Birokrasi Kejaksaan Agung, Yudi sempat ingin berkunjung ke Aceh. Namun keinginan itu terhalang oleh pandemi Covid -19. Kini, setelah lima tahun kemudian, amanah bertugas di Aceh pun tiba, dan disambutnya dengan penuh antusias.

Salah satu hal pertama yang mengesankan bagi Yudi adalah kuatnya nuansa religi dalam kehidupan masyarakat Aceh. Ia juga terpesona dengan budaya warung kopi yang hidup hingga larut malam, kontras dengan kota kelahirannya, Pontianak, di mana kehidupan malam lebih cepat mereda.

Di Banda Aceh, Kajati tak segan menjelajahi berbagai warkop. Dalam satu kunjungan, ia bahkan memesan empat gelas kopi sekaligus, masing-masing dengan cita rasa yang berbeda. “Kopi Aceh sungguh istimewa,” ucapnya.

Untuk menggali lebih dalam tentang kesan awal terhadap masyarakat dan budaya lokal, Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur, melakukan wawancara eksklusif dengan Kajati Aceh itu di ruang kerjanya, pekan lalu. Petikan lengkap wawancara ini juga bisa disaksikan melalui Kanal YouTube Serambinews.com.

Bisa Bapak ceritakan sedikit latar belakang?

Saya lahir dan besar di Pontianak. Sekolah saya juga di sana mulai dari SD sampai S2. Saat ini saya sedang ikut dalam program studi doktoral (S3) di Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini baru tahap seminar proposal. Tapi karena itu, kesibukan-kesibukan lainnya, ini agak sedikit terhambat.

Apa kesan Bapak saat pertama kali bertugas di Aceh?

Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Aceh, baik itu bertugas maupun kunjungan kerja sebelum menjabat Kajati Aceh. Datang ke Aceh ini adalah cita-cita saya yang sudah lama. Saat menjabat Kabag Reformasi, Birokrasi Kejagung pada tahun 2020, ada program bagaimana menciptakan seluruh satuan kerja di wilayah Kejagung mendapatkan predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih. Adapun tugas dan fungsi saya mentrigger satuan kerja di seluruh Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Merauke.

Pada saat itu hampir seluruh wilayah di Timur sudah saya kunjungi. Kebetulan saat saya ingin berkunjung ke daerah barat Indonesia, ada saja hambatannya. Saat itu ada pandemi Covid-19. Tapi alhamdulillah Allah SWT berkehendak lain, saya dipercayakan menjabat sebagai Kajati Aceh. Rupanya saya harus lama-lama di Aceh. Kalau waktu masih Kabag RB kan saya paling dua atau tiga hari saja di Aceh. Tapi karena Allah SWT memberikan saya berkah yang banyak, saya diberi amanat menjadi Kajati Aceh.

Saya sudah sangat lama ingin datang ke Aceh. Apalagi dengar kabar di satu kabupaten di Aceh Jaya, tepatnya di Lamno itu identik dengan Mata Biru. Jadi ada informasi di Jakarta, kalau datang ke Aceh, belum sah jika belum sampai ke Lamno. He..he... 

Selama tiga bulan berada di Aceh, sudah pergi ke mana saja?

Kalau untuk ke daerah saya sempat ke Lhokseumawe, Bireuen. Kebetulan saat itu ada salah satu pejabat negara datang ke Bireuen dalam rangka pelaksanaan program di sana. Saya juga kebetulan ada program Adhyaksa Peduli Stunting. Program tersebut merupakan inovasi Kejati Aceh untuk membantu pemerintah agar memberikan bantuan berupa apa pun, seperti vitamin, susu untuk ibu hamil, dan anak yang terindikasi stunting.

Apalagi di Bireuen itu, ada desa wisata yang diinisiasi oleh Kajari Bireuen, Munawal. Bagus sekali itu. Mereka membina para keuchik-keuchik, dari semua masalah, khususnya masalah alokasi dana desa. Bagaimana penggunaan alokasi dana desa itu tepat sasaran, tepat mutu,  penggunaannya tidak terjadi penyimpangan. 

Jadi ini Kajari di Bireuen, sangat baik. Apalagi binaan desa wisata yang berjalan baik. Awalnya kawasan desa yang berhutan tak terkelola, kini disulap menjadi tempat wahana dan tempat wisata berupa flying fox, kapal-kapalan. Dan itu sejalan dengan semangat kejaksaan dalam membina desa. Kaitannya seperti pengelolaan dana desa. Kami kan di bidang perdata dan tata usaha negara, punya program pendampingan hukum. Itu dilakukan untuk mensosialisasi masalah penggunaan dana desa.

Jadi pak Kajari dan kasi datunnya di daerah akan mendampingi aparatur gampong bagaimana pengelolaan dana desa yang baik dan benar. Tepat waktu, tepat mutu dan tepat sasaran.

Saat Bapak pertama ke Aceh dan menyaksikan warung kopi selalu penuh, apa kesannya?

Masalah warung kopi, saya kan lahir dan besar di Pontianak, Kalimantan Barat. Dan sama budayanya dengan Aceh. Tapi Aceh ternyata jauh lebih maju. Mulai dari pelayanan, jenis kopi yang dihidangkan. Bahkan saya baru merasakan di sini ada kopi dicampur nanas. Saya heran juga gimana bisa kopi dicampur dengan nanas. Kemudian ada kopi dicampur dengan jeruk, itu saya coba semua.

Sekali saya duduk di warkop saya coba semua, dan rasanya juga enak. Asam lambung saya juga tidak naik. Saya orangnya begitu, kalau ada sesuatu makanan saya coba semua, apa ada berpengaruh dengan asam lambung saya. Alhamdulillah juga tidak naik. Bahkan sanger juga saya coba, kopi pahit, saya coba semua sekali duduk. Saya tidak tahu ini, apa karena ramuannya yang dikelola dengan baik, atau bagaimana cara meracik kopi ini dengan baik untuk menjadi minuman yang tidak membuat asam lambung saya naik.

Bapak tahu sejarah sanger?

Tentu saya tahu, meskipun saya bukan orang Aceh, tapi semuanya sudah saya cari tahu sebelumnya. Sejarah singkatnya rupanya duduk-duduk di warung kopi. Mahasiswa di warkop-warkop, karena duitnya terbatas maka diminta kopi yang dicampur susunya sedikit. Saya duduk dan tanyakan apa-apa saja yang menarik di Aceh. Rupanya saya dapat informasi bahwa sanger itu singkatan dari saling ngerti (Sanger), kasihlah sedikit susunya, biar kita mahasiswa ini yang duitnya terbatas juga bisa merasakan. Gitukan, pahamlah saya, cepat saya belajar ke situ.

Bagaimana pandangan bapak saat melihat suasana warung kopi di Aceh, aman tidak Aceh dikunjungi?

Ini menjadi tugas saya, selaku Kajati dan juga orang pendatang di sini. Saya tentu punya tugas untuk menyampaikan kepada orang yang bukan orang Aceh, jangan ragu untuk datang ke sini. Karena Aceh itu rupanya kota bahagia. Orang bersama-sama ngopi sampai jauh malam. Nggak pernah ada cerita orang ngopi, kendaraan atau dompetnya hilang. Aceh begitu damai, nyaman, begitu ramah orangnya dan nuansa keagamaannya juga tinggi.

Saya bilang ngopi sampai jam 12 malam masih aman, kalau di tempat lain jam 9 sudah tutup. Kalau di Aceh jam 9 malam, orang baru berangkat untuk ngopi. Ini menandakan Aceh itu aman dan nyaman. 

Sudah berapa penghargaan yang diperoleh Kejati Aceh?

Tiga bulan bertugas di Aceh, saya sudah mendapatkan tiga penghargaan. Alhamdulilah saya mendapat piagam penghargaan dari DJKN Kemenkeu Aceh pada 16 Juli 2025. Yang pertama itu atas peringkat pertama koordinator wilayah dengan capaian hasil lelang terbesar, kategori satuan kerja, kementerian lembaga semester I.

Kemudian piagam penghargaan dari DJKN juga, atas peringkat satu dengan capaian frekuensi lelang terbanyak. Ada satu lagi, tapi saya lupa taroknya dimana terkait penyerapan anggaran terbaik. Berita baiknya lagi, Kejati Aceh masuk ke dalam finalis, wilayah yang menuju predikat wilayah bebas dari korupsi. Ini sudah enam kita tunggu-tunggu selalu gagal. Saya memotivasi seluruh jajaran saya, dan insyaallah kita akan mencapai peringkat WBK itu. Karena predikat bergengsi. Kedua, alhamdulillah kami mewakili Kejaksaan Republik Indonesia, satker dalam hal inovasi kaitannya dengan pelayanan publik yang digagas Kemenpan RB.

Kami di sini memiliki inovasi stunting. Namanya Adhyaksa Peduli Stunting. Jadi kami memiliki inovasi yang saat ini masuk dalam nominasi nasional. Kami juga mewakili Kejaksaan RI yang kaitannya adhyaksa peduli stunting. Kegiatannya ada di beberapa kabupaten/kota, salah satunya Lhokseumawe dan Bireuen.(indra wijaya)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved