Jurnalisme Warga
Kapan dan Siapa Penulis Hikayat Aceh?
Saat kita membuka naskah Hikayat Aceh, langsung terlihat judul “Ini hikayat raja Aceh daripada asal turun temurun.”
T.A. SAKTI, peminat naskah lama dan sastra Aceh, melaporkan dari Rumoh Teungoh (Rumah Abu Tabib Wen), Gampong Ujong Blang, Kecamatan Beutong, Nagan Raya
SAMPAI tingkat sudah diakui sebagai 'Memory of the World' atau Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, polemik tentang “kapan dan siapa” pengarang Hikayat Aceh belum ada kesatuan pendapat di antara para peneliti dan pengkaji Hikayat Aceh.
Mengapa demikian? Jawaban terhadap pertanyaan itu dengan mudah dapat dijelaskan, jika kita membaca serta melihat langsung fisik yang tersisa dari Hikayat Aceh. Hikayat ini sama sekali tidak utuh isinya, baik di bagian permulaan, lebih-lebih lagi di bagian inti dari sebuah karangan yang normal.
Kecacatan naskah Hikayat Aceh di bagian awal teramat parah. Padahal, di sinilah kadang-kadang nama penulis dan saat penulisan sebuah karya dicantumkan. Namun, apa mau dikata. Isi naskah Hikayat Aceh telah hilang puluhan halaman pada bagian permulaannya, ketika mau disalin ulang di negeri Belanda pada tahun 1847 M.
Saat kita membuka naskah Hikayat Aceh, langsung terlihat judul “Ini hikayat raja Aceh daripada asal turun temurun.”
Menurut Teuku Iskandar, yang menulis disertasi mengenai Hikayat Aceh, judul itu ditambah ke dalam naskah oleh seorang Belanda, yang sedang mempelajari Hikayat Aceh.
Lanjutan dari judul, tertulis kalimat: ”daripada daging perburuan jua”. Selanjutnya, kisah yang panjang yang dimulai dengan kalimat: ”Maka raja Indera Syah pun dibawa oranglah kepada raja Cina. Maka dipermulia raja Cina akan dia dan diberikannyalah yang ditinggalkan raja Iskandar itu.”
Raja Indera Syah adalah kakek-buyut Sultan Iskandar Muda, sultan teragung Kerajaan Aceh Darussalam, yang dikisahkan dalam Hikayat Aceh.
(Lihat: Seri Penerbitan Museum Aceh no. 17 yang berjudul “HIKAYAT ACEH” (Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda), yang merupakan disertasi Teuku Iskandar di Universitas Leiden, Belanda, yang telah diterjemahkan oleh Aboe Bakar Bsf, 1986, halaman 73).
Kita terbingung-bingung setelah membaca klausal “daripada daging perburuan jua.” Kenapa Raja Indera Syah seolah-olah langsung terlontar ke rimba raya untuk berburu binatang, sesuai tradisi para raja tempo dulu. Perburuan itu memang tidak sia-sia, karena sang raja sudah mendapatkan “daging perburuan” berupa daging rusa, pelanduk atau daging glueh yang lebih lezat lagi, misalnya.
Banyak pertanyaan yang langsung menganga minta jawaban adalah: 1) Bagaimana asal silsilah dari Raja Indera Syah. 2) Kenapa Raja Indera Syah tiba-tiba mendapat “daging perburuan”. 3) Apakah beliau sengaja berburu dengan pasukananya?
Menyambung kalimat “daripada daging perburuan jua” dengan kalimat selanjutnya juga teramat ganjil dan kacau balau. “Maka Raja Indera Syah pun dibawa oranglah kepada raja Cina”, itulah sambungan dari klausul “ daripada daging perburuan jua”.
Pertanyaan yang muncul di bagian sambungan ini lebih aneh lagi!
1) Apakah Raja Indera Syah tersesat di hutan rimba bersama istri bernama Nur Kamarain beserta dayang-dayangnya?
2) Kalaupun kesasar tentu mesti dalam rimba negeri Aceh, bukan di rimba negeri Cina? Tapi, tiba-tiba raja Indera Syah dibawa orang ke hadapan Raja Cina, tanpa berlayar mengarungi lautan luas. Padahal, dalam semua hikayat bersyair Aceh menyebutkan: kalau dari Aceh mau menyeberang ke Cina mesti berlayar berbulan-bulan lamanya.
Keanehan Hikayat Aceh pada bagian inti tidak saya bahas lagi di sini karena sudah tercakup dalam reportase saya sebelumnya.
Alhamdulillah, semua pertanyaan yang mengganjal batin kita ketika membaca isi Hikayat Aceh, sudah dijawab Dr Teuku Iskandar dalam disertasi beliau sejak tahun 1958.
Mengenai hal ini Prof Dr Teuku Iskandar menyebutkan:”...naskah ini disalin dari naskah asal yang telah kehilangan halaman atau halaman-halaman awal. Halaman dua pun dimulai di tengah-tengah kalimat, suatu tanda lagi naskah asal kehilangan halaman atau halaman-halaman berikutnya atau naskah asal itu disalin dari sebuah naskah lain yang telah kehilangan halaman dua.” ( Lihat: Teuku Iskandar, “Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad”, Penerbit Libra, Jakarta, 1996, hlm. 387).
Bahan disertasi
Keberuntungan terus menyambangi naskah Hikayat Aceh. Meski isinya serbatidak lengkap, tapi manuskrip ini telah memancing para budayawan dan sejarawan dari berbagai belahan dunia tampil mengkajinya.
Ada peneliti yang mengutip Hikayat Aceh beberapa alenia saja, beberapa halaman, satu-dua kisah dan yang khusus lagi hanya memilih bagian tertentu seperti hubungan diplomatik yang harmonis antara Kerajaan Portugal dengan Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejauh yang saya ketahui, hanya Teuku Iskandar—pernah sebagai Presiden (Rektor) pertama Universitas Syiah Kuala dan Dekan pertama Fakultas Ekonomi Unsyiah—dan Husein Djajadiningrat yang betul-betul sudah membedah atau meneliti Hikayat Aceh secara sempurna.
Kajian Teuku Iskandar di tahun 1958 sebagai bahan disertasi, sedangkan Prof Husein Djajadiningrat berkarya atas sponsor Pemerintah Hindia Belanda. Kedua peneliti Hikayat Aceh ini berasal dari Indonesia.
Sementara, pengkaji yang berasal dari mancanegara adalah sebagai berikut:
1) Petrus Voorhoeve (Belanda);
2) G.W.J. Drewes (Belanda);
3) Sayid Naquib Al-Attas (Malaysia);
4) L. F. Brakel (Belanda):);
5) Denys Lombard (Prancis);
6) Ito Takeshi (Jepang);
7) Anthony Johns (Australia);
8) Theodor Willem Juynboll (Belanda);
9) Christiaan Antonie Olivier van Nieuwenhujze (Belanda);
10) Van der Linden (Belanda);
11. Hans Penth (Jerman); dan
12. Vladimir Braginsky (Rusia).
Ternyata, cukup banyak orientalis atau ahli ketimuran dari berbagai bangsa yang telah mengkaji Hikayat Aceh. Hal inilah yang jadi pemicu Hikayat Aceh cepat menanjak derajatnya. Ia menjadi manuskrip bertaraf internasional dan viral di dunia luar, sedangkan di negeri sendiri terkesan terbiar, tawar, dan hambar.
Perdebatan
Akibat banyaknya pengkajian terhadap Hikayat Aceh, maka muncullah perbedaan pendapat di antara para peneliti. Dua hal yang menonjol dalam “asah pikiran” membedah Hikayat Aceh, yaitu:
1). Kapan Hikayat Aceh ditulis, apakah semasa Sultan Iskandar Muda memerintah atau sesudah ia mangkat?
2) Siapa penulis Hikayat Aceh?
Denys Lombard, orientalis asal Prancis menyebutkan, Hikayat Aceh ditulis pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607–1636 M) dan beliau sendiri yang memerintahkan penulisan biografinya. Dalam hal ini Denys Lombard tidak menjelaskan nama penulis karya itu.
Teuku Iskandar dan Van der Linden meyakini bahwa Hikayat Aceh ditulis dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Lebih lanjut Teuku Iskandar menyatakan, “bahwa Hikayat Aceh kemungkinan besar ditulis oleh seorang sufi terkenal Syekh Syamsuddin dari Pasai."
Pendapat ini ditentang keras oleh Vladimir Braginsky asal Rusia. Ia menegaskan, mana mungkin seorang Syekh Syamsuddin yang alim dan terpelajar mau menulis sebuah kisah yang berlepotan mitos dan dongeng itu.
Saya pribadi berpendapat bahwa Vladimir Braginsky telah “menarik” kisah abad 17 ke abad ke 21. Padahal, di abad 17 masyarakat kita saat itu masih kental dengan dongeng dan mitos. Bahkan sampai sekarang!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.