KUPI BEUNGOH
Rp 1,74 Triliun untuk Rumah DPR, Ketika Empati Dikalahkan Kemewahan
Apakah benar para wakil rakyat hanya bisa bekerja jika difasilitasi rumah sewa mewah seharga Rp 50 juta sebulan?
Oleh: Delky Nofrizal Qutni *)
ADA satu angka yang belakangan ini membuat dada rakyat sesak, yaitu 'Rp 1,74 triliun'.
Itulah biaya yang akan dihabiskan negara untuk tunjangan rumah bagi 580 anggota DPR selama lima tahun, dengan hitungan Rp 50 juta per bulan per orang.
Pertanyaannya sederhana, apakah benar para wakil rakyat hanya bisa bekerja jika difasilitasi rumah sewa mewah seharga Rp 50 juta sebulan?
Mari jujur sejenak. Di luar gedung megah Senayan, 23,8 juta orang Indonesia masih hidup miskin.
Upah rata-rata buruh nasional hanya sekitar Rp 3,09 juta per bulan, bahkan banyak realita di berbagai daerah bahwa upah yang diterima masih di bawah standar yang ada.
Di warung kopi desa, banyak bapak yang menghitung receh sebelum membeli beras. Di pasar tradisional, ibu-ibu menawar sambil menahan napas karena harga sayur dan cabai tak kunjung ramah.
Lalu di ruang kelas pinggiran, ribuan guru honorer masih berharap gaji setara UMR.
Di tengah kenyataan itu, wajar jika publik merasa tersayat hati.
Bagaimana mungkin wakil rakyat begitu ringan hati menerima Rp 50 juta per bulan hanya untuk tempat tinggal.
Sementara sebagian rakyat masih berjuang sekadar untuk membayar kontrakan petak seharga Rp 700 ribu?
Baca juga: Markasnya Dirobohkan Bobby Nasution, Hercules Akan Datangi KPK Desak Korupsi Sumut Diusut Tuntas
Baca juga: Putin tak Peduli dengan Nasib Mantan Marinir Indonesia Satria Kumbara
DPR RI beralasan, tunjangan lebih efisien daripada terus merawat Rumah Jabatan Anggota (RJA).
Tetapi, di mana transparansi perbandingan biayanya? Adakah audit terbuka? Ataukah efisiensi sekadar kamuflase untuk menjustifikasi kemewahan?
Efisiensi yang Kehilangan Makna
Kata efisiensi akan kehilangan makna jika hanya berarti lebih nyaman untuk elite, lebih berat untuk rakyat.
Lebih ironis lagi, di saat pusat mengeluarkan Instruksi Presiden tentang efisiensi APBN dan APBD, daerah justru dipaksa mengencangkan ikat pinggang, memangkas kegiatan, bahkan menahan program pembangunan.
Pemerintah daerah diminta kreatif mencari ruang fiskal, padahal belanja pegawai saja sudah menekan APBD.
Lalu bagaimana publik bisa percaya pada keteladanan efisiensi jika pusat lewat DPR justru memberi contoh sebaliknya.
Ini bukan sekadar soal angka, melainkan soal jarak hati antara rakyat dan wakilnya.
Jarak itu makin lebar setiap kali rakyat melihat DPR hidup dalam kemewahan, sementara mereka dituntut bersabar dalam kesusahan.
Wakil rakyat seharusnya menjadi cermin dengan hidup sederhana, merasakan denyut penderitaan rakyat, lalu memperjuangkannya.
Bukan justru membangun tembok tinggi dari tunjangan, agar tak lagi mendengar suara sengsara dari luar pagar.
Baca juga: MIRIS, Anak Petani asal Aceh Tengah Dianiaya di Pesantren, Salim dan Istri Malah Digugat 500 Juta
Baca juga: Tadi Malam, Lima Rumah Ludes Terbakar di Desa Sembilan Simeulue Barat
Rp 1,74 triliun bukan sekadar anggaran namun itu adalah ukuran empati. Dan hari ini, empati DPR sedang diuji.
Jika mereka tetap bersikukuh, maka rakyat berhak bertanya, apakah masih layak menyebut mereka wakil rakyat, jika yang diwakili pada hakikatnya tak lebih hanyalah kepentingan diri sendiri?
*) PENULIS adalah mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh 'FPMPA', Ketua Aceh Kreatif
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.