Kupi Beungoh

Benang Merah Logika Mistika Tan Malaka dan Kepercayaan Sufistik dalam Islam

Jadi untuk mengajarkan rasa atau ilmu bathin, mereka terlebih dahulu mengajarkan pengamalan atau yang disebut dengan imtihan.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Alumni Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Ar-Raniry, Arif Zakiyul 

*) Oleh: Arif Zakiyul

INDONESIA memiliki keunikan di setiap sudut kemajemukan, mulai dari adat-istiadat hingga kepercayaan.

Namun, kemajemukan ini dapat juga menjadi penghambat kemajuan dari negara kita sendiri.

Penghambat kemajuan ini dapat kita lihat pada sistem kepercayaan yang tidak realite atau fake (kepalsuan), bahkan kepercayaan yang tidak memiliki dasar argumen kuat yang dibuktikan secara dalil aqli maupun naqli. 

Dalam ilmu tauhid saja argumen harus didasari dengan dua burhan (bukti) yaitu dalil naqli yang didapati dari Al qur’an dan Hadis dan dalil aqli yang dapat dibuktikan dengan realita atau secara ilmiah. 

Namun terdapat beberapa bantahan dalam dunia keislaman, sebab masih ada orang yang mengatakan bahwa kaum sufisme adalah kaum yang mangajarkan thoriqat dan kepercayaan yang masih dianggap keluar dari nalar.

Banyak diantara mereka yang masih menceritakan hal-hal ghaib.

Sebenarnya ada sisi unik dari paradigma para kaum sufistik, tetapi banyak disalahpahamkan karena mereka mengajarkan ilmu rasa, ada sebuah ungkapan man lam yazuq lam yadri (barangsiapa yang belum merasakan maka dia belum mengetaui).

Jadi untuk mengajarkan rasa atau ilmu bathin, mereka terlebih dahulu mengajarkan pengamalan atau yang disebut dengan imtihan dan kurang membicarakan rasa dari proses spiritualnya tersebut, seperti sebuah logika perbedaan antara rasa manis gula dengan madu.

Jadi, jika penulis menggambarkan bagaimana manisnya madu tentu orang awam yang belum pernah merasakan madu akan menyamakan manisnya sama dengan gula, padahal hakikat rasanya berbeda.

Sekarang mari kita menarik benang pemahaman antara Tan Malaka yang berbicara logika mistika atau takhayul dan khurafat dengan kepercayaan dalam dinul Islam

Tan Malaka dikenal sebagai salah satu pemikir revolusioner Indonesia yang memiliki pandangan komprehensif tentang filsafat, politik, serta spiritualitas.

Dalam karya-karyanya, terutama Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), Tan Malaka memperkenalkan konsep rasionalisme yang berpadu dengan semangat pembebasan. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, pemikiran Tan Malaka juga mengandung jejak-jejak spiritualitas yang sejalan dengan nilai-nilai Sufisme dalam Islam.

Walaupun tidak secara eksplisit Tan Malaka menyampaikan sepahaman dengan kepercayaan kaum sufistik, akan tetapi mereka sepakat bahwa soal kepercayaan harus bisa dirasionalkan walaupun tidak dalam wujud fisik atau realita, bahkan kaum sufistik membenarkan ajarannya lewat sebuah rasa yang mampu ditangkap oleh akal.

Semisalnya mereka mengajarkan bagaimana cara kita mensyukuri nikmat Allah Swt, sehingga kita merasakan ketenangan dan terhindar dari pikiran yang membuat stres, bagi meraka begitulah cara menemukan tuhan, dalam rasa syukurnya. Bukan berarti menjumpai Allah dengan melihat wujud zat.

Oleh Tan Malaka mendefinisikan logika mistikanya adalah suatu produk lokal dari masyarakat feodal dan kolonial yang menggunakan takhayul dan kepercayaan irasional untuk mempertahankan status quo (keadaan dan kedudukan).

Dapat kita pahami bahwa logika mistika bukan sesuatu yang buruk untuk dipercayai, karena kita yang beragama islam wajib mengimani hal-hal ghaib sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al baqarah ayat 3.

Kita sangat berbeda pemahaman dengan kaum oreintalis dan filusuf barat yang meniadakan pemahaman filsafat yang bersifat metafisik (ghaib), maka perlu bagi kita untuk memperhatikan kembali bahwa ada hal-hal yang mistik yang mana perlu diyakini dan ada pemahaman yang perlu untuk ditinggalkan.

Hal inilah yang ditentang oleh Tan Malaka yang mana masyarakat Indonesia masih berpegang teguh kepada kepercayaan nenek moyang yang jumud.

Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa kepercayaan bukan sesuatu yang membelenggu kehidupan, seperti halnya mengimani takdir.

Bukan semata-mata apa yang telah terjadi itu takdir adalah jalan hidup bagi kita, melainkan hal yang perlu kita perbaiki jika buruk dan mengembangkannya jika hal tersebut yang terbaik. Seperti kemiskinan yang menjadi masalah di Indonesia.

Kemiskinan merupakan hal yang perlu kita atasi bersama, miskin bukan berarti menyalahi takdir dari tuhan, namun mayoritas masyarakat Indonesia jika di tanyai persoalan kemiskinan mungkin mereka akan menjawab “kami sudah ditakdirkan seperti ini”, keyakinan seperti inilah yang menjadi penghambat kemajuan dari negara. 

Untuk problematika sedemikian secara langsung terbantahkan dengan pemahaman tauhid. Karena di dalam pelajaran tauhid telah dijelaskan, bahwa Allah Swt telah menulis takdir dan menciptakan ikhtiar bagi seluruh makhluq hidupnya.

Artinya takdir yang Allah ciptakan tidak mungkin terlepas dari ikhtiar seorang makhluq.

Maka, jangan menyalahkan takdir atau firman Allah yang se-kajian tentang hal-hal demikian. Maka rakyat Indonesia perlu memikirkan “apakah benar pemahaman saya seperti ini?”.

Semasa pelarian Tan Malaka di Singapura, Tan menggambarkan bagaimana keterjajahan negaranya sendiri terutama melalui ideologis yang dianut oleh masyarakat pada masa itu, sehingga Tan Malaka pun menyusun propaganda untuk membenarkan pemahaman masyarakat Indonesia untuk bangkit dan berevolusi.

Tan Malaka menilai bahwa Indonesia masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme-dinamisme, di dalam filsafat Hindu-Budha.

Bagi Tan Malaka kepercayaan tersebut mambawa sistem feodalisme yang melahirkan mental budak, takut berpikir, dan pasif.

Semisalnya di Indonesia ketika itu ada keyakinan akan datangnya Ratu Adil ramalan Sri Jayabaya yang akan menyelamatkan Indonesia dari penjajahan, hal inilah yang dimaksud oleh Tan Malaka sebagai kejumudan dalam berpikir.

 Menurut Tan Malaka juga jika kita ingin merdeka seratus persen, yang terutama diubah adalah pola berpikir yang harus progresif dan rasional.

Maka dari beberapa uraian tersebut dapat kita garis bawahi bahwa Tan Malaka mengajak masyarakat Indonesia untuk mengubah pola pikir yang lebih rasional, agar tidak mudah percaya terhadap hal-hal takhayul sehingga menghambakan diri kepada sesuatu yang tidak benar, tetapi tidak dengan membuang kepercayaan kepada hal ghaib sebagaimana keyakinan kita kepada Allah Swt.

Namun, lebih tepatnya kita harus memastikan kebenaran berdasarkan dalil naqli yang tekstual maupun dalil aqli secara kontekstual. Maka, Tan Malaka dan Nurcholish Madjid lebih mengkritik tentang kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu dengan berbagai kepercayaan yang takhayul. (*)

*) PENULIS adalah Alumni Ilmu Al Qur'an dan Tafsir UIN Ar-Raniry, serta Pengamat Kajian Publik

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

 

Baca dan Ikuti Berita Serambinews.com di GOOGLE NEWS 

Bergabunglah Bersama Kami di Saluran WhatsApp SERAMBINEWS.COM 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved