Opini
Dana Komite Madrasah: Antara Polemik dan Mutu Akademik
Tulisan ini bertujuan mengurai masalah ini secara jujur dan kritis, bukan untuk
Oleh: Samsul Bahri SPd MPd, Guru MA Darul Ulum Banda Aceh
POLEMIK seputar dana komite madrasah dan Ombudsman masih menghiasi media di Aceh. Tulisan ini hadir sebagai respons atas isu yang terus diperpanjang dan diperdebatkan di ruang publik. Meskipun tidak semua madrasah melakukan praktik
pungutan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kasus yang terungkap harus tetap dikritisi sebagai pengingat. Di satu sisi, ada temuan dan penegasan dari Ombudsman terkait dugaan pungutan di madrasah. Di
sisi lain, muncul pembelaan yang mengatasnamakan mutu pendidikan.
Tulisan ini bertujuan mengurai masalah ini secara jujur dan kritis, bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan untuk mencari titik terang dan solusi konstruktif bagi masa depan pendidikan madrasah.
Realitas Pendanaan
Madrasah di Aceh
Secara faktual, madrasah seringkali berada dalam posisi yang dilematis akibat kebijakan pendanaan. Sebagai lembaga vertikal di bawah Kementerian Agama, mereka tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah
Daerah Aceh maupun dana Otonomi Khusus (Otsus). Di sisi lain, anggaran rutin dari APBN seringkali belum memadai untuk memenuhi kebutuhan operasional dan peningkatan mutu pendidikan di lapangan. Kesenjangan
pendanaan inilah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya praktik pungutan di madrasah. Namun, harus disadari bahwa ruh ilmu berasal dari kecintaan pencari ilmu dan keikhlasan dalam bentuk apapun dari orang tua.
Akar Masalah
Polemik ini bermula dari penyimpangan peran fundamental yang
seharusnya dijalankan oleh para aktor kunci dalam ekosistem madrasah.
● Kepala madrasah adalah manajer dan pemimpin yang bertanggung jawab penuh atas seluruh aspek sekolah, termasuk keuangan dan
integritas. Namun, pada kenyataannya, mereka menyalahgunakan wewenang dan menjadi aktor utama yang menginisiasi praktik pungutan yang tidak sesuai aturan. Tindakan ini mencerminkan kegagalan kepemimpinan, karena mereka memilih jalan pintas yang jelas melanggar hukum alih-alih mencari solusi kreatif dan legal.
● Komite madrasah
seharusnya menjadi mitra strategis yang memberikan dukungan non-finansial dan nasihat. Dukungan finansial
yang diberikan haruslah bersifat sukarela dan tidak mengikat. Namun, dalam praktik yang terungkap, komite menyimpang dari peran idealnya dan menjadi instrumen untuk melegitimasi pungutan ilegal. Uang yang ditarik dengan dalih "sumbangan sukarela" sudah
ditentukan jumlahnya dan bahkan diiming-imingi fasilitas yang lebih baik. Hal ini merusak kepercayaan orang tua dan membuat komite tidak lagi berfungsi sebagai jembatan yang sehat antara sekolah dan masyarakat.
● Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pembina utama, seharusnya menjadi benteng pertama yang mencegah praktik-praktik
ilegal di madrasah. Fungsi pembinaan seharusnya bersifat proaktif, mendidik, dan mengawasi secara ketat. Namun, pada kenyataannya, Ombudsman mengambil alih peran pengawasan ini karena ada laporan yang masuk, yang menunjukkan adanya kelalaian dalam
pembinaan. Kemenag baru bertindak setelah ada temuan dari Ombudsman, yang mengindikasikan bahwa pembinaan yang dilakukan bersifat reaktif, bukan proaktif dan preventif.
Narasi Defensif dan Keterlibatan Lembaga
Sebagai respons terhadap temuan Ombudsman, muncul narasi yang cenderung mengarahkan perdebatan pada perasaan ditargetkan. Ada yang mempertanyakan, "mengapa hanya madrasah yang disoroti, bagaimana
dengan sekolah umum?". Narasi ini adalah kekeliruan logika yang berisiko
mengaburkan isu utama. Sorotan Ombudsman tidak muncul dari ruang
hampa, melainkan dari laporan masyarakat dan investigasi yang menghasilkan bukti konkret. Temuan pungutan tidak sesuai aturan senilai Rp 11,5 miliar bukanlah rekayasa, melainkan fakta yang terdokumentasi
dan dimuat di berbagai media terkemuka. Argumentasi yang benar adalah bahwa pelanggaran harus dihentikan, terlepas dari apa yang terjadi di
tempat lain. Sikap yang benar adalah introspeksi dan perbaikan internal.
Keterlibatan lembaga seperti Majelis Pendidikan Daerah (MPD) dan
Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A) menambah dimensi dan
kompleksitas masalah.
Komentar ketua MPD, sebagai lembaga resmi, memberikan semacam legitimasi politis pada perlawanan kepala madrasah seolah
mengisyaratkan bahwa praktik tersebut sah-sah saja.
● LP2A, sebagai lembaga pemantau, menggeser fokus perdebatan dari
ranah hukum ke ranah filosofis. Mereka berargumen bahwa penegakan hukum oleh Ombudsman "menghalangi" upaya sekolah
untuk maju. Padahal, yang terjadi adalah penegakan hukum yang bertujuan untuk memperbaiki praktik yang melanggar.
Perbedaan Sudut Pandang dan Langkah Konkret
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.