Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI
SEJARAH Aceh sering dimulai dari kisah-kisah besar. Kerajaan Hindu-Buddha, kemunculan Samudra Pasai, atau kegemilangan Kesultanan Aceh Darussalam.
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
SEJARAH Aceh sering dimulai dari kisah-kisah besar.
Kerajaan Hindu-Buddha, kemunculan Samudra Pasai, atau kegemilangan Kesultanan Aceh Darussalam.
Tetapi di balik itu ada bentangan waktu ribuan tahun yang sunyi, masa panjang sebelum huruf, kitab, dan kerajaan datang menancapkan otoritasnya.
Masa inilah yang jarang disingkap, padahal justru di situlah akar-akar terdalam masyarakat Aceh bersemai.
Jauh sebelum agama-agama dunia hadir, wilayah ini telah dihuni oleh kelompok-kelompok manusia yang membawa bahasa, teknologi, dan sistem kepercayaan mereka.
Gelombang awal itu adalah kelompok berbahasa Austroasiatic, sering disebut Melayu Tua.
Mereka tiba dari daratan Asia Tenggara, menyusuri Semenanjung Malaya dan Sumatra bagian utara.
Mereka hidup dengan bercocok tanam sederhana, berburu, dan mengenal teknik batu.
Dari mereka mungkin tersisa kosakata tertentu dalam bahasa Gayo, Alas, atau bahkan Aceh, yang menunjukkan lapisan tua yang tidak sepenuhnya tergantikan.
Baca juga: MSAKA21:Aceh Klasik- Migrasi Tiga Kulit Bawang dan Seribu Tahun Pertemuan Dunia - Bagian IV
Migrasi Austronesia
Lalu datang gelombang besar lain: para penutur Austronesia.
Migrasi ini terjadi sekitar 4.000 tahun lalu, sebuah arus raksasa dari Taiwan ke Filipina, lalu ke Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumatra.
Mereka membawa perahu bercadik, teknik menenun, tembikar halus, serta sistem kekerabatan yang berbeda.
Aceh menjadi salah satu simpul yang mereka singgahi, bahkan mungkin mereka pilih sebagai hunian permanen.
Perjumpaan Austroasiatic dengan Austronesia inilah yang menciptakan fondasi etnolinguistik Aceh pesisir, dan tengah yang kita kenal hari ini.
Masa pertemuan itu bukan sekadar transisi biologis, melainkan juga benturan kosmologi.
Austroasiatic dikenal dengan tradisi animisme agraris yang melekat pada tanah dan hutan, sementara Austronesia membawa sistem pelayaran yang menatap laut sebagai halaman rumah.
Dua horizon itu bertemu di Aceh: gunung dan laut, darat dan samudra, menetap dan mengembara.
Dari sinilah lahir keseimbangan yang unik dalam kebudayaan pesişir Aceh, dan wilayah tengah yang selalu berdiri di persimpangan antara hulu dan muara.
Bukti di Loyang Mendale
Arkeologi memberi kita serpihan bukti.
Di Loyang Mendale, tepi Danau Laut Tawar, ditemukan kerangka manusia berusia sekitar 3.000 tahun.
Ia dikubur bersama peralatan sederhana: pecahan tembikar, mata panah batu, manik-manik kaca yang mungkin datang dari jauh.
Kehadirannya menegaskan bahwa Gayo bukanlah dataran terisolasi, melainkan bagian dari jaringan migrasi dan pertukaran regional.
Di Loyang Ujung Karang, ditemukan jejak hunian serupa.
Ada api unggun, alat tulang, dan sisa makanan.
Semuanya berbicara tentang kesinambungan hidup yang panjang.
Bandingkan dengan situs megalitik di Pasemah, Sumatra Selatan, atau di Nias dengan patung-patung batu raksasanya.
Ada resonansi yang sama, manusia pra-Hindu–Buddha di Nusantara membangun struktur batu sebagai penanda, entah makam, entah altar, yang selalu terkait dengan ritus leluhur.
Di Gayo, menhir dan dolmen masih berdiri di beberapa desa, menjadi bukti bahwa wilayah ini masuk dalam orbit budaya megalitik Asia Tenggara.
Jejak itu memberi kita gambaran.
Aceh pra-Hindu–Buddha bukanlah ruang kosong menunggu diisi, melainkan panggung aktif dengan komunitas yang hidup, beradaptasi, dan mencipta.
Mereka mungkin tidak mengenal kerajaan, tapi mengenal tatanan sosial berbasis klan dan kampung.
Mereka mungkin tidak menulis kitab, tetapi menghafal mitos dan kosmologi lewat tuturan lisan, tarian ritual, atau ukiran di kayu dan batu.
Bila kita membandingkan dengan Jawa, misalnya, di mana tradisi Austronesia kemudian berasimilasi lebih cepat dengan Hindu-Buddha, maka Aceh memiliki kekhasan.
Aceh tetap mempertahankan lapisan tua lebih lama
Letak geografis Aceh di ujung barat Nusantara menjadikannya semacam pos depan, terbuka bagi arus baru, tetapi juga menyimpan sisa-sisa yang tak lekang oleh gelombang berikutnya.
Dalam bayangan itu, kita bisa merasakan bagaimana bahasa menjadi wadah memori.
Kata-kata tertentu dalam Gayo dan Alas masih mengandung jejak Austroasiatic, sementara struktur dan kosakata lain mencerminkan Austronesia.
Perpaduan itu ibarat jaringan kepingan bambu yang dipasang dari batang yang berbeda, ada yang halus, ada yang kasar, tetapi justru percampuran itulah yang membuatnya kokoh dan indah dilihat
Lebih jauh, jika kita menengok komparasi ke Filipina utara atau Kalimantan barat, kita menemukan pola yang mirip.
Wilayah yang menjadi titik temu Austroasiatic dan Austronesia selalu menghasilkan mosaik etnolinguistik yang rumit.
Namun Aceh punya ciri tambahan yakni, posisinya di jalur laut internasional.
Bahkan sebelum agama-agama besar datang, barang-barang seperti manik kaca atau logam sudah menyinggung pantainya.
Artinya, masyarakat pra-Hindu–Buddha di Aceh sudah akrab dengan pertukaran jarak jauh, meski mungkin hanya sebagai mata rantai kecil dari jaringan besar Asia Tenggara.
Bayangkan saja ada cerita kapur barus Singkil yang tersohor sampai ke Romawi, bahkan sebelum nabi Isa lahir. Walaupun tak disebut terkait dengan Julius Cesar, kita tahu apa itu kedigdayaan Romawi, tapi ada jejak kapur barus di sana.
Mari kita menutup mata sejenak dan membayangkan lanskap itu.
Hutan lebat membentang dari pesisir hingga ke dataran tinggi, sungai-sungai deras mengalir ke laut, dan di antara itu perkampungan kecil dengan rumah panggung dari kayu.
Asap dapur mengepul, anak-anak bermain di tepian danau, orang dewasa menenun jaring, meracik ramuan, atau mendirikan batu tegak untuk leluhur.
Tidak ada raja, tidak ada prasasti, tidak ada kuil megah—tetapi ada keteraturan hidup yang dibangun dari pengalaman ratusan generasi.
Inilah ruang waktu yang jarang disorot dalam narasi sejarah kita.
Kita lebih sering terpesona pada kedatangan Hindu, Buddha, atau Islam, seakan-akan kebudayaan baru lahir ketika agama-agama besar itu masuk.
Padahal justru masa pra-Hindu–Buddha adalah fondasi tak terlihat, tempat nilai, bahasa, dan pola pikir asli terbentuk.
Kekuatan Aceh pesisir dan wilayah tengah hari ini sebagian besar bersumber dari periode itu.
Keakraban dengan tanah dan air, ketahanan menghadapi gelombang luar, dan keterampilan menenun identitas dari benang-benang yang datang silih berganti.
Bagi mereka di wilayah tengah-terutama Gayo, hutan bukan sekadar latar, melainkan bagian dari tubuh sosial.
Bagi orang Alas, sungai adalah jalur hidup.
Bagi orang Aceh pesisir, laut adalah halaman rumah.
Semua itu adalah warisan langsung dari masa ribuan tahun sebelum Hindu–Buddha masuk.
Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang sejarah Aceh, tidak cukup hanya berhenti pada raja-raja besar atau peperangan megah.
Ada bab sunyi yang perlu dibaca ulang.
Ribuan tahun manusia biasa yang hidup, mencipta, dan mewariskan sesuatu yang lebih abadi daripada istana--yakni bahasa, pola hidup, dan rasa keberadaan bersama.
Mungkin inilah cara terbaik menghormati masa pra-Hindu–Buddha di Aceh.
Bukan dengan menjadikannya sekadar catatan kaki, melainkan dengan mengakuinya sebagai fondasi yang membuat Aceh hari ini berbeda dari daerah lain.
Sebuah fondasi yang dibangun dari pertemuan Austroasiatic dan Austronesia, dari tembikar dan menhir, dari mitos dan lagu-lagu purba, yang semuanya masih berdentang samar dalam bahasa, tradisi, dan imajinasi kita.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”? |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
MSAKA21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan “Kain Palekat Satu Kodi” |
![]() |
---|
Dua “Lelah”, Satu Bencana: MoU Helsinki dan Damai, Menang? |
![]() |
---|
Indonesia dan BRICS: Posisi Bebas Aktif dan Ketidaksenangan AS |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.