Opini

Merayakan Damai Aceh

Di wilayah tengah, ada kabar gembira dari perayaan 20 tahun perdamaian Aceh di Bener Meriah. Dimana Lembaga KKR Aceh dan

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Ismar Ramadani, Peneliti Independen dan Petugas Pengambil Pernyataan Periode Kedua 

Oleh: Ismar Ramadani, Peneliti Independen dan Petugas Pengambil Pernyataan Periode Kedua

ADA dua hal yang spesial bagi masyarakat Aceh di bulan Agustus tahun ini. Pertama,  perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 80 tahun pada 17 Agustus 2025. Kedua, merayakan perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki pada 15 Agustus 2025   yang menjadi benih perdamaian di Aceh hingga saat ini.

Tak ayal, sejumlah acara dilakukan oleh berbagai kalangan dan lembaga. Di kampus kalangan akademisi melalui Lembaga penelitian dan pusat studi juga turut merayakan momentum ini. Sebagai contoh rangkaian acara yang dilakukan oleh ICAIOS (https://aceh.tribunnews.com/2025/08/15/20-tahun-perdamaian-aceh-icaios-x-undang-akademisi-global-bahas-masa-depan-pembangunan) dan peluncuran serta diskusi buku terkait perdamaian di Aceh. Selain kalangan kampus, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat juga terlibat dalam perayaan ini.  Di pemerintahan Provinsi dan kota melakukan perayaan dengan kegiatan zikir akbar dan doa (https://aceh.tribunnews.com/2025/08/15/ribuan-warga-larut-dalam-zikir-akbar-dua-dekade-perdamaian-aceh-di-aceh-utara?page=1)

Di wilayah tengah, ada kabar gembira dari perayaan 20 tahun perdamaian Aceh di Bener Meriah. Dimana Lembaga KKR Aceh dan Pemerintah Kota Bener Meriah mengadakan Tasyakuran yang mengusung tema "Dua Dekade Perdamaian Aceh, Bersatu Membangun Bener Meriah Maju dan Bermartabat". 

Kegiatan ini tidak hanya merayakan perdamaian namun juga mengisi perdamaian dengan rekonsiliasi di tingkat komunitas oleh para pihak yang mewakili dari empat desa; Desa Bakongan, Kecamatan Permata, desa Sidodadi, dan Kecamatan Bandar. Rekonsiliasi komunitas ini merupakan keberhasilan dari upaya kohesi sosial di Aceh, dan pertama kali dilakukan oleh  warga Sedie Jadi, Bener Meriah. (https://aceh.tribunnews.com/2025/08/10/peringati-hari-damai-aceh-kkr-dan-pemkab-bener-meriah-gelar-tasyakuran).

Kegiatan-kegiatan diatas menjadi gambaran kebahagiaan Aceh dalam mengisi perdamaian. Upaya yang dilakukan oleh semua pihak ini juga berhasil membantah tesis yang mengatakan kesepakatan damai pasca konflik sering kali gagal dan konflik akan kembali terjadi setiap lima tahun atau kelipatannya. Namun Aceh membuktikan, hingga 20 tahun pada 16 Agustus 2025  perdamaian di Aceh tetap terjaga.

Tantangan Perdamaian Aceh

Meski telah menikmati perdamaian selama 20 tahun. Ternyata masih terdapat luka luka lama yang menyebabkan trauma sehingga masyarakat  latah melakukan kekerasan, terbiasa melihat kekerasan, kurang berempati karena merasa mereka telah melalui hal hal yang lebih sulit. Ini saya temukan pertama kali secara mengejutkan ketika melihat sebuah video klip lagu Aceh yang bercerita tentang romansa percintaan, dengan khas kisah cinta segitiga. Dimana, si laki-laki melakukan pemukulan terhadap seorang pria yang mendekati kekasihnya. Bagi sebagian orang ini mungkin sesuatu yang biasa, namun bagi saya ini agak berlebihan dan kemungkinan disebabkan oleh sikap wajar dalam melihat atau melakukan kekerasan. 

Kesimpulan sementara saya ini kembali dikuatkan oleh cerita dua orang teman yang hadir saat pemutaran film Marlina si Pembunuh Empat Babak pada tahun 2018 di Taman Budaya, Banda Aceh. Dimana pada dua adegan yaitu saat pemotongan kepala dan kepala ditenteng, penonton bersorak kegirangan dan merasa puas atas pembalasan dendam yang dilakukan oleh Marlina. Saat mendengar ini saya kaget dan ternyata menurut sang teman tim pemutaran film ini juga mengalami hal yang sama. 

Dia menyampaikan jika selama berkeliling Indonesia untuk memutar film ini, hanya di Aceh penonton bersorak ria saat kedua adegan tadi sementara secara umum penonton ngeri, takut dan tidak berharap Marlina melakukan kekerasan itu. Bagi saya ini kembali menunjukkan betapa tolerannya masyarakat terhadap kekerasan.

Selain itu, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga muncul pasca konflik. Menurut teman yang bekerja melakukan pendampingan terhadap korban KDRT dari RPuK di Aceh Utara menemukan bahwa angka KDRT yang tinggi berkorelasi dengan pengalaman dan trauma kekerasan yang dialami laki-laki pada masa konflik. 

Termasuk sejumlah kasus pembunuhan di Aceh, terbaru seorang ayah membunuh anaknya di Bener Meriah dan diduga terjadi karena sang ayah mengalami trauma berkepanjangan. Ini menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dari kerja perdamaian Aceh yang belum selesai.

Melibatkan Anak Muda Dalam Menjaga Perdamaian Aceh

Pada tahun 2018, saya pernah menemani mahasiswa menonton film dokumenter The Black Road oleh William Nessen. Sebuah film dokumenter yang merekam konflik Aceh langsung dari lapangan. Setelah selesai menonton, ada mahasiswa yang bertanya apakah adegan itu betul betul terjadi di Aceh? 

Ada juga yang mengatakan bahwa kejadian di film itu sama dengan yang diceritakan orang tuanya dan juga mengatakan ternyata yang orang tuanya sampaikan itu benar. Secara umum mereka sulit mempercayai bahwa konflik semacam itu terjadi di Aceh.

Bagi generasi muda, terutama yang usia balita saat konflik atau yang lahir diatas tahun 2005 akan sulit membayangkan bagaimana konflik Aceh. Sehingga menceritakan kepada mereka apa yang terjadi, betapa buruknya keadaan masyarakat pada saat konflik akan membantu membangun kesadaran sejarah konflik di Aceh. Ini juga yang sedang dilakukan oleh KKR Aceh dengan menghimpun pernyatan korban maupun pelaku pada saat konflik yang sudah diterbitkan dalam sejumlah laporan (lihat buku Peurala Damee). 

Ini bertujuan untuk mencatat sejarah, bukan membuka luka lama dan berpotensi muncul konflik kembali, namun menceritakan luka dan menggambarkan betapa tercerabutnya kemanusiaan saat itu pada generasi muda agar mereka tidak mengulangi hal yang sama dan melihat perdamaian di Aceh sebagai anugerah yang harus disyukuri dan dijaga.

Atas dasar itu menempatkan generasi muda pada garda terdepan dalam merayakan perdamaian Aceh menjadi penting. Sebab ditangan mereka perdamaian ini akan bergantung, sehingga melibatkan orang muda dalam menikmati dan merayakan damai dapat membantu mereka untuk terhindar dari kekerasan dan godaan untuk mengangkat senjata.

Mengutip pernyataan Fauzan Azima, “pada masa konflik orang yang paling bijaksana sekalipun berpeluang melakukan kesalahan” sehingga menurut Fauzan perdamaian adalah tugas panjang seluruh masyarakat Aceh. Setelah 15 Agustus 2005 meminta maaf wajib dilakukan dan memberikan kemaafan sedikit banyak dapat membantu kita untuk sembuh bersama dan secara tegas menolak segala bentuk kekerasan. Terus membicarakan damai dan anti kekerasan juga dapat membantu generasi muda dimasa mendatang memperjuangkan hak hak mereka melalui jalur budaya (non kekerasan).

Semoga perdamaian ini abadi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved