Cerpen

Pawang Nu

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seperti biasanya ia melaut dengan menggunakan perahu tradisional yang mengandalkan angin dan bintang sebagai penunjuk jalan. Nelayan sepertinya harus melaut pada malam hari. Pada malam hari angin darat akan berhembus dan membawa perahu layarnya menuju lautan.

***

Pawang Nu membuka matanya perlahan. Kepalanya masih nyeri dan matanya agak berkunang. Tapi cahaya cerah matahari membuat penglihatannya semakin baik. Bunyi air yang menghantan pinggiran perahu menyadarkannya kalau ia berada di tengah laut.

Cepat ia bangun dan mengingat apa yang telah terjadi. Perahunya diamuk badai. Sebuah benda keras menghantam bagian belakang kepalanya. Sudah berapa lamakah ia tidak sadarkan diri? Dan di laut mana saat ini ia berada?

Matahari di atas sana menantang garang arah depannya. Itu menunjukkan arah timur. Kalau ingin pulang ia harus menuju arah selatan. Suhu di laut cenderung lebih dingin pada siang hari. Dan angin akan bertiup dari laut ke darat. Inilah saatnya untuk pulang. Lelaki itu mulai bangkit dan memasang kembali layar perahu. Setelah semuanya beres, angin mulai membawa perahu menuju selatan, masalah baru muncul.

Ia sudah berjanji untuk membawa pulang kakap merah pada Juragan Ramli. Tapi badai memupus semua harapan. Dan suatu kejaiban Tuhan ia masih hidup, perahunya tidak hancur saat ia tidak sadarkan diri.

Pawang Nu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Kemana hendak diletakkan wajahnya kalau kali ini pulang dengan tanga hampa? Ia tidak mampu menanggung rasa malu karena kalah dengan badai.

Setelah merenung beberapa lama, lelaki itu mengambil belati dari ikat pinggangnya, kemudian mulai mengerat wajahnya pelan-pelan. Setelah semuanya selesai ia ambil sebuah jarum jahit yang disediakan istrinya untuk menambal layar yang robek atau membetulkan alat perangkap ikan.

Pelan-pelan ia mulai menjahit wajahnya ke layar perahu dengan bergelantungan pada tiang-tiang layar. Setelah semuanya selesai ia tersenyum puas. Kini wajahnya sudah berpindah tempat ke layar perahu. Nanti saat ditanya ia tinggal menjawab. “Aku tak tahu kemana perginya ikan-ikan itu. Wajahku sibuk menatap langit yang begitu indah.”

* Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Aceh Timur.

Berita Terkini