DKP Aceh, kata Diauddin, tidak punya sarana kapal patroli cepat untuk mengawasi penggunaan pukat trawl itu. Begitu juga anggarannya. “Mulai tahun depan, kita usulkan anggaran pengadaan kapal dan biaya pengawasan penggunaan pukat harimau dan penangkapan ikan hiu di luat bebas melalui sumber dana APBA maupun APBN,” kata Diauddin.
Pengawasannya, lanjut Diauddin, bisa dilakukan lewat udara, yakni dengan menyewa pesawat kecil, seperti pesawat MAF atau Susi Air, maupun boat berkecepatan tinggi. Misalnya, untuk dua jam penerbangan, sewanya Rp 20 juta, maka dalam satu tahun bisa dianggarkan 12 kali penerbangan, sehingga totalnya Rp 240 juta.
Ia juga merekomendasikan bahwa untuk melestarikan populasi hiu yang dilindungi atau langka, bisa dengan cara membuat areal konservasinya. Umpama, hiu martil dan koboi paling banyak ditemukan di laut terluar Pulo Rondo, Sabang, maka kawasan itu bisa ditetapkan menjadi kawasan konservasi hiu martil dan koboi. (her)