“Mengapa pula Abang nampak memaksa?”
“Aku tak memaksa. Aku hanya mau ingatkan kau, Nuswar, supaya tak kau abaikan isyarat itu. Kau yang akan rugi nanti, he-he-he!”
“Bang, awak kira, awak ini termasuk orang yang tahu dirilah!”
“Apa pula urusannya dengan soal tahu diri itu!?”
“Abang kan dapat melihat sendiri, awak ini siapa, Jamilah itu siapa.”
“Astaghfirullah! Mengapa pula anak ini! Di zaman begini, masih saja berpikir seperti itu. Hei, Nuswar, ihwal membeda-bedakan manusia itu sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah hambus itu ke laut! Sekarang ini sudah tak ada perbedaan antara sesama manusia. Semua manusia itu sama!”
“Mungkin begitu, Bang. Tetapi kalau yang berkenaan dengan Jamilah, maksud awak keluarganya, lainlah halnya. Kalau saja Abang tahu apa yang terus menerus dikeluhkan Jamilah kepada awak, akan lainlah rasanya pendapat Abang.”
“Kalau sejauh itu, tak tahulah aku urusannya. Aku hanya coba sadarkan kau, supaya tak kau sia-siakan kesempatan. Janganlah sekali-kali punai yang sudah di tangan, kau lepaskan. Bodoh itu namanya, he-he-he!”
Adakalanya serasa terbakar juga Nuswar dengan provokasi Ahmad Kacong itu. Mau jugalah dia coba lebih dekatkan diri kepada Jamilah dan bersambut rasa. Tetapi setiap kali perasaan itu muncul, setiap kali pula bayangan Teuku Azhari Raja Angkasa mencogok di hadapannya, memelototkan mata, memilin misai. Langsung menguncuplah semangat Nuswar.
***
Suatu Ketika, orangtuanya mendesak dengan sangat supaya Nuswar lanjutkan pendidikannya dulu, ketimbang jadi capeg yang nasibnya tidak jelas. Makciknya di Jakarta siap jadi sponsor. Maka November 1960 dia pun berangkat ke ibu kota, dengan penuh semangat dan harapan. Tetapi nasib mengharuskannya menempuh lebuh yang tak dibayangkannya semula. Di tengah perjalanan studinya, makciknya kehabisan kekuatan untuk membantu. Maka dia dihadapkan pada pilihan berat: Pulang sebagai orang yang gagal atau lanjutkan studi dengan swadaya. Dia pilih lanjutkan studi. Artinya, dia harus usahakan sumber penghasilan sendiri. Artinya lagi, dia harus punya pekerjaan atau usaha yang mapan. Dan itu tidak mudah. Di ibu kota, perjuangan hidup betul-betul sudah mendekati batas perjuangan antara hidup dan mati. Larut dalam suasana seperti itu, dengan sendirinya tak ada lagi cerita lanjutan antara dirinya dengan Jamilah.
***
Dan berlalulah tahun-tahun dengan cepatnya. Tak mau ingkari panggilan alam, Nuswar pun menikah. Lalu punya anak. Lalu punya cucu. Tetapi, melalui kawan-kawannya yang tetap bermukim di Banda Aceh, dia masih bisa dengar-dengar kabar tentang Jamilah. Maka tahulah dia, beberapa tahun setelah mengajar, Jamilah masuk jurusan Tarbiyah di Ar Raniry, sehingga karirnya makin berkembang. Tetapi ada satu hal yang sangat pasti: Jamilah tidak pernah menikah.
Dan kini, Jamilah pun telah tiada. Pada 2010 Allah memanggilnya. Tetapi Jamilah tak akan pernah tiada dalam kenangan Nuswar. Jamilah bagaikan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Mereka memang tak dipersatukan oleh takdir. Mereka harus menjalani hidup sendiri-sendiri. Damai, damailah hati. Dimana-mana kita memang sendiri.
* M. Joenoes Joesoef, lahir di Ulee Lheu, 24 Juni 1938. Sekarang berdiam di Bekasi. Pensiunan yang menulis untuk cegah pikun dini