“Ya, Yahya, yang mendalam sampai ke lubuk: ramalan adalah sejenis zat adiktif yang meracuni politisi di negeri ini, dikarenakan banyak orang-orang berpolitik percaya pada nasib baik dari angka-angka kemenangan saat pemilihan. Betapa banyak pendukung, mereka memperkirakan itu. Tak peduli berapa banyak uang dihabiskan untuk mencapai kursi jabatan dan kehormatan, namun pada akhirnya kebanyakan dari mereka mengambil uang rakyat, tepatnya mencuri uang rakyat untuk menutupi kerugian saat ia mengkampanyekan diri dan segala proses dalam dunia politik. Barangkali kalian tidak terlalu paham. Maksud Bapak, orang-orang politik itu percaya ramalan bahwa suatu saat mereka bisa kaya raya.”
Semua mengangguk, tapi masih tampak kebingungan. Bruumm!!! Hujan semakin deras. Hujan badai menerpa seng-seng dan menggebrak padi yang hendak menguning, membuat deretan padi itu semakin terlihat miring. Sedangkan di sekolah, pelajaran sudah dimulai. Di beberapa lesehan, murid-murid nangkring, terbengong-bengong menatapi tirai hujan dan merapati tubuh-tubuh dengan tas. Dingin merayap. Adnan urung melepas sepatu. Sedangkan murid-murid menggantung sepatu di leher.
“Ini namanya buku primbon.” Adnan mengangkat buku bersampul kuning itu. “Buku ini tentang tanggal, tahun dan hari lahir atau waktu-waktu tertentu yang menjelaskan kelebihan dan kekurangan, kebaikan dankeburukan atau kesialan di masa mendatang yang mesti dihadapi seseorang atau sekalian umat-jika kalian percaya rukun iman, jangan percaya ini! Ada yang tidak mengaji di sini?”
Anak-anak itu saling melirik, tanpa menunjukkan orang yang dicari. “Waktu muda dulu Bapak sempat percaya. Semua tampak berjalan lancar. Segala perkiraan yang disebutkan di sana, nyaris Bapak rasakan. Tapi ujung-ujungnya yang Bapak tahu, sebenarnya Bapak termotivasi untuk melakukan dan merasakan hal-hal baik yang disebutkan di buku ini. Hampir semua isi ramalan itu tentang kebaikan. Pada akhirnya kebaikan itu harus dimulai dari diri sendiri. Kalian yang ingin mencapai cita-cita setinggi menara Baiturrahman, silahkan. Ingin menaklukkan tempat-tempat tertinggi di dunia, puncak Everest, misalnya. Jangan muluk-muluk coba dulu taklukkan Bukit Jalin. Jangan mudah dibuat percaya pada ramalan, perkiraan, prediksi, apalagi kata-kata yang sama artinya.
“Kita hidup di dunia nyata, bukan di dunia Naruto, One Piece, sinetron, maupun kebanyakan cerita-cerita di film. Berpikirlah yang mungkin-mungkin: sekolah di luar negeri, menjelajah luar angkasa seperti astronot, tinggal caranya saja. Harus belajar mulai dari sekarang. Siapa yang punya cita-cita menjadi dokter?”
Semua angkat tangan.
“Jadi tidak ada yang mau jadi astronot?”
Anak-anak itu saling melirik.
“Ya, sudahlah. Kalau cita-cita jadi dokter, harus benar-benar jadi dokter, bukan dokter jadi-jadian. Jangan percaya kalau ada orang yang bilang, anak kampung tidak bisa jadi apa-apa selain petani atau tukang. Itu dua-duanya keliru: cara meramal dan ramalan itu sendiri. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Hanya orang-orang yang berusaha yang bisa mencium ‘bau’ masa depan. Maksudnya, jika saat menjelang ulangan, kalian sempat belajar, kalian pasti merasa yakin bisa menjawab semua soal, ya kan? Nah, begitu juga dengan orang-orang yang berusaha, dan selalu berdoa. Yang jelas tidak bisa dirasakan tanda-tandanya, misalkan hujan reda pukul satu. Di sini ada yang percaya hujan reda sebentar lagi?”
“Jadi Bapak mau bertaruh?” tanya Yahya yang tampak bersemangat dalam urusan semacam ini.
“Boleh.”
Semua anak-anak itu meramalkan murid-murid pulang lebih cepat dan itu berarti sebentar lagi, itu jika hujan reda dikarenakan banyak guru yang tidak masuk kelas. Adnan teguh dengan pendiriannya, pukul satu.
Hujan ternyata meringkas kegiatan belajar-mengajar hari itu. Murid-murid pulang lebih cepat. Anak-anak yang duduk satu lesehan dengan Adnan tersenyum menang.
“Ramalan Bapak salah.”
“Itulah yang tadi Bapak bilang! Ramalan itu tidak pasti. Jangan percaya ramalan begitu saja,” ujar Adnan sambil mengelus kepala Yahya.