Opini

Pembangunan dalam Perspektif Islam

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh Muhammad Yasir Yusuf

KONSEP pembangunan dan ekonomi menurut perspektif Islam berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi yang dikemukakan oleh pemikir barat. Dalam perspektif Islam, pembangunan ekonomi bersifat material dan spiritual, yang mencakup pula pembangunan sumber daya manusia (SDM), sosial, kebudayaan dan lainnya. Dalam perkataan lain dampak pembangunan dalam Islam adalah menyeluruh sebagaimana konsepsi Islam sebagai agama yang menyeluruh. Bukan hanya ekonomi yang bersifat material tetapi juga pembangunan nonmaterial yang bersifat spiritual, akhlak, sosial dan kebudayaan.

Ada lima kebijakan utama pembangunan dalam Islam, yaitu: Pertama, konsep pembangunan berlandaskan tauhid, khalifah dan tazkiyah; Kedua, aspek pembangunan meliputi fisik dan moral spiritual; Ketiga, fokus utama pembangunan adalah manusia sebagai subjek dan objek pembangunan guna mencapai kesejahteraan; Keempat, fungsi dan peran Negara, dan; Kelima, skala waktu pembangunan meliputi dunia dan akhirat.

Konsep tauhid memegang peranan penting karena esensi dari segala sesuatu, termasuk aktivitas pembangunan adalah didasarkan pada ketundukan pada aturan Allah Swt. Pembangunan harus dilakukan dan diarahkan kepada upaya untuk melaksanakan segala ketentuan-Nya. Adapun pelaku pembangunan adalah manusia. Manusia sebagai hamba Allah, juga sekaligus khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi) bertugas untuk memakmurkan bumi. Kedua tugas ini akan berjalan baik dan sukses sangat tergantung pada jalan yang dipilihnya. Pilihan atas jalan tersebut mempengaruhi arah dari pembangunan. Allah telah memberikan dua potensi pada diri manusia dalam menentukan arah kehidupan, yaitu potensi kebaikan (al-taqwa) dan potensi keburukan (al-fujur) (QS, 91: 8-10).

Adapun tazkiyah merupakan upaya untuk mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik dan berkah. Kerangka tazkiyah didasari pada tiga prisip utama yaitu keadilan, keseimbangan dan ketundukan yang sempurna kepada Allah Swt. Konsep tazkiyah mendorong bahwa fokus pembangunan tidak hanya diarahkan pada hal-hal yang bersifat fisik material semata, melainkan juga dikaitkan dengan aspek moral spiritual. Ukuran-ukuran keberhasilan pembanguna tidak hanya didasarkan pada ukuran-ukuran material, namun juga ditentukan oleh kualitas moral pelaku pembangunan.

Sangat menentukan
Kualitas SDM pelaku pembangunan pun sangat menentukan tingkat keberhasilan pembangunan suatu Negara. Karena itu pembangunan SDM sangat diperlukan, apalagi esensi kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas SDM yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Di sinilah letak fungsi dan peran negara, di mana pemerintah sebagai “manajer dan pelayan” pembangunan harus mampu memetakan semua potensi SDM dan sumber daya alam (SDA) untuk dikelola dengan maksimal, guna menciptakan kesejahteran dan kebahagian bagi masyarakat dalam rentang waktu dunia dan akhirat. Artinya time line (skala waktu) pembangunan adalah menciptakan kesejahteran masyarakat di dunia tanpa mengorbankan kehidupan akhirat pelaku pembangunan.

Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi dalam perspektif Islam tidak sekedar terkait dengan peningkatan volume barang dan jasa, namun juga terkait dengan aspek moralitas dan kualitas akhlak serta keseimbangan antara tujuan dunia dan ukhrawi. Ukuran keberhasilan pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata dilihat dari sisi pencapaian materi semata, namun juga ditinjau dari sisi perbaikan kualitas kehidupan beragama, sistem jaminan sosial dan kemasyarakatan.

Jika memacu pembangunan ekonomi saja, maka akan tercerabutnya nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan, akan lahir pelaku pembangunan yang korup, pembisnis yang kotor dan masyarakat yang materialistik. Semua sisi kehidupan dinilai dengan uang. Uang menjadi alat ukur kesejahteraan.

Menurut Irfau Syauqi Beik, kekeliruan-kekeliruan premis konvensional dalam teori pembangunan menjadi akar masalah timbulnya paradoks antara pertumbuhan dan distribusi ekonomi. Kehadiran ekonomi Islam meminimalisasi paradoks yang diakibatkan konvensional dengan mengubah paradigma konflik antara pertumbuhan dengan distribusi, melalui penciptaan berbagai instrument dan mekanisme yang bisa menjamin tumbuhnya ekonomi di satu sisi, dan terciptanya distribusi di sisi lain. Konsepsi ini tercermin dalam kesatuan arah pembangunan Islam melalui tiga sektor yaitu produktivitas sektor ril, keuangan syariah, dan kesejahteraan yang terefleksi pada zakat, infak, sedakah dan wakaf (Ziswaf).

Dalam perspektif ekonomi Islam, paling tidak ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan: Pertama, investible resources (sumber daya yang dapat diinvestasikan). Maksudnya adalah segala sumber daya yang dapat digunakan untuk menggerakkan roda perekonomian. Sumber daya tersebut antara lain SDA, SDM dan modal. SDA adalah anugerah dari Allah yang disiapkan untuk kepentingan manusia. Adapun sumber daya modal adalah potensi dana yang bisa dioptimalkan, antara lain saving rate di suatu negara. Saving rate adalah proporsi dana yang disimpan oleh masyarakat dalam bentuk tabungan yang dapat digunakan sebagai modal untuk membiayai pembangunan. Tinggal bagaimana caranya agar dana-dana tersebut bisa disalurkan kepada sektor-sektor yang menjadi prioritas pembangunan. Hal ini sangat tergantung dengan SDM.

Faktor kedua, SDM dan entrepreneuship. Ketika basis pembangunan ekonomi Islam adalah sektor ril, maka memiliki SDM yang berjiwa entrepreneuship sebuah keniscayaan. Karena kemandirian ekonomi suatu negara dapat dicapai melalui pemenuhan dua hal, yaitu optimalisasi potensi lokal dan pengembangan budaya bisnis berbasis syariah. Optimalisasi potensi lokal berarti tidak pernah bergantung pada pihak lain, atau bergantung pada impor dan produk yang dihasilkan oleh negara lain.

Dan, faktor ketiga adalah teknologi dan inovasi. Teknologi dan inovasi merupakan faktor yang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Teknologi akan melarikan efisiensi dan basis teknologi adalah inovasi. Karena itu, inovasi menjadi suatu kebutuhan yang perlu didesain secara serius oleh pemerintah. Rasullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai orang mukmin yang berkarya.” (HR. Baihaqi).

Indikator sejahtera
Ketiga faktor pembangunan di atas akan mendorong pembangunan menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Filosofi kesejahteraan dalam pembangunan perspektif Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam surah Quraish ayat 1-4. Ada empat indikator utama masyarakat dikatakan sejahtera, yaitu: sistem nilai islami, kekuatan ekonomi, pemenuhan kebutuhan dasar dan sistem distribusi, serta keamanan dan ketertiban sosial.

Indikator pertama, basis dari kesejahteraan adalah ketika nilai ajaran Islam menjadi panglima dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa. Kesejahteraan sejati tidak akan pernah bisa diraih jika kita secara diametral menentang aturan Allah Swt. Penentangan terhadap aturan Allah justru menjadi sumber penyebab hilangnya kesejahteraan dan keberkahan hidup (QS. Thaha: 124).

Kedua, kesejahteraan tidak akan mungkin diraih ketika kegiatan ekonomi tidak berjalan sama sekali. Inti dari kegiatan ekonomi terletak pada sektor ril, yaitu bagaimana memperkuat industri dan perdagangan. Sektor ril inilah yang menyerap angkatan kerja paling banyak dan menjadi ruh dari ekonomi Islam.

Halaman
12

Berita Terkini