Hasil penjualan obligasi di Aceh Tengah, diserahkan kepada Bupati Aceh Tengah pada Agustus 1948. Oleh bupati lalu menyerahkan dana itu atas nama masyarakat Aceh Tengah, kepada pengurus Gasida selaku Ketua Pantia Pengumpulan Dana Pembelian Pesawat, di Kutaradja atau Banda Aceh sekarang.
Dalam manuskrip itu disebutkan bahwa Ketua Panitia Pengumpulan Dana adalah TM Ali Panglima Polem. Tapi sayang sekali tidak disebutkan secara detil, berapa jumlah dana yang terkumpul dari hasil penjualan obligasi di Aceh Tengah.
Dalam manuskrip tersebut disebutkan "masyarakat bersedia mengumpulkan dana berdasarkan dorongan penggilan perjuangan dan memenuhi permintaan Presiden Soekarno yang datang ke Aceh pada 16 Juni 1948."
Pengumpulan dana melalui penjualan obligasi atau surat utang juga berlangsung di daerah Aceh lainnya.
Opsir Udara II Wiweko Soepeno ditugasi membeli pesawat dari hasil sumbangan rakyat Aceh tersebut.
(Baca: Muhammad Nazar : Rakyat Aceh Jangan Larut Isu Obligasi tapi Lupa Kawal Wakaf Aceh di Saudi)
(Baca: Ini Penegasan Pemerintah Aceh terkait Rencana Investasi BPKH di Tanah Wakaf Baitul Asyi)
(Baca: Pahami Baik-baik, Begini Bunyi Ikrar Wakaf Habib Bugak Aceh di Mekah Ratusan Tahun Lalu)
Selang tiga bulan kemudian, pesawat berhasil didapatkan, jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong.
Pesawat dengan kode VR-HEC itu mendarat di Maguwo Padang dan kemudian diregistrasi RI-001.
Era Seulawah RI-001 memang telah berakhir. Sekarang hanya tinggal replika yang dipajang di Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah, sejak 1975.
Majalah TEMPO, edisi khusus 24 Agustus 2003, menulis sebenarnya ada tiga replika pesawat Seulawah RI-001 yang dibuat.
Salah satunya dipajang di Anjungan Aceh TMII itu. Replika lainnya ditempatkan di Lapangan Blang Padang Banda Aceh sebagai monumen, diresmikan Panglima TNI Jenderal LB Moerdani pada 30 Juli 1984. Replika ketiga berada di Museum Rangoon, Myanmar.
Pemerintah Myanmar merasa berhutang budi kepada Seulawah karena telah ikut menjadi pesawat angkut di negara tersebut pada 1949.
Meski tinggal replika, riwayat ”Si Gunung Emas” harus tetap lestari dan dijaga sebagai bagian dari sejarah bangsa.
Aktualisasi nilai-nilai kesejarahan itu diharapkan menjadi motivasi dan menggugah kesadaran dan membangun solidaritas nasional, dan memberi penghargaan yang pantas kepada keikhalasan rakyat Aceh atas sumbangannya itu.(*)