Jika hanya satu pihak dari mantan pejuang kemerdekaan Aceh yang berusaha meyakinkan masyarakat Aceh mengenai perdamaian tidak didukung oleh pemerintahan pusat, maka mencerminkan bahwa tidak terdapat konsolidasi antara kedua pihak.
Secara konstitusional, Pemerintah Pusat seharusnya tidak mengganggu pemerintahan lokal yang berjalan damai semenjak tahun 2005 pascaMoU Helsinki.
Sikap Pemerintah Pusat melakukan intervensi terhadap hak otonomi khusus Aceh menandakan bahwa pemerintah kembali lagi mengingkari janjinya, yang mana indikator ini selalu menjadi alasan terjadinya pemberontakan. Seharusnya Pemerintah Pusat belajar dari sejarah.
Selain pemerintah secara legalitas harus mempertahankan hak otonomi khusus Aceh, secara substansi Pemerintah Pusat juga harus mengontrol dan bekerja sama dengan mantan pejuang kemerdekaan Aceh mengenai mempertahankan perdamaian.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka kemungkinan pemberontakan kembali dilakukan, sebagai akibat sikap ketidakpedulian Pemerintah Pusat terhadap perdamaian di Aceh.
Kesimpulan ini saya dapatkan bukan berdasarkan asumsi pribadi tanpa bukti empirik, namun berdasarkan penelitian saya yang bertahun mengenal masyarakat Aceh, proses perdamaian dan pascadamai di Aceh.
Penelitian saya yang juga melakukan komparasi perdamaian pascakonflik antara Aceh dan Mindanao (Filipina Selatan) juga menunjukkan bahwa perdamaian di Aceh dijadikan contoh dan menawarkan preview on the success conflict resolution oleh beberapa negara.
Termasuk kelompok-kelompok pemberontak di Mindanao yang menjadikan Aceh sebagai panduan dalam merefleksikan hubungannya dengan pemerintah Filipina.
Ketertarikan internasional terhadap resolusi konflik di Aceh juga tercerminkan melalui kegiatan yang difasilitasi oleh Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala yang bekerja sama dengan Rotary Peace Center Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand.
(Dana Rp 650 M tak Masuk KUA PPAS)
Kegiatan ini dihadiri peserta dari 19 negara yang tertarik dalam menjadikan Aceh sebagai model dalam bentuk resolusi konflik yang sukses.
Kesuksesan ini perlu dijaga oleh Pemerintah Pusat, baik secara teknis maupun substansi.
Komunikasi dengan mantan pejuang kemerdekaan Aceh dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan properdamaian harus aktif diselenggarakan dan diinisiasi oleh Pemerintah Pusat.
Berhubung bahwa saat ini Aceh menjadi sorotan dunia sebagai model sukses resolusi konflik, yang mana pada mayoritas negara lain gagal melakukannya, maka menjadi tantangan bagi pemerintah pusat untuk menjaga perdamaian tersebut sebelum kebanggaan suksesnya resolusi konflik berbalik menjadi kegagalan.
*) PENULIS adalah Peneliti Center of Terrorism and Radicalism Studies (CTRS) Universitas Indonesia.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.