Laporan Subur Dani | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Aksi ribuan mahasiswa menolak eksplorasi tambang emas yang dilancarkan selama dua hari berturut-turut di Kantor Gubernur Aceh sejak Selasa (9/4/2019) hingga Rabu (10/4/2019) dan berlanjut hingga hari ini benar-benar mengundang decak kagum masyarakat Aceh.
Baca: Demo PT EMM - Seratusan Brimob dan Satpol PP Dikerahkan Kawal Pertemuan Plt Gubernur dan Mahasiswa
Bagaimana tidak, selama dua hari melakukan aksi, mahasiswa turun ke jalan dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka menamakan diri Badan Pemuda Aceh (BPA) yang beranggotakan ribuan mahasiswa lintas universitas di Aceh.
Hari pertama aksi, ratusan mahasiswa datang ke Kantor Gubernur Aceh. Mereka ingin menjumpai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah guna menyampaikan aspirasi mereka untuk tolak PT Emas Mineral Murni (EMM) di Aceh.
Baca: Ditemani Kapolda, Akhirnya Nova Tiba di Kantor Gubernur
Mahasiswa gagal, Plt Nova tak hadir, alasannya sedang di luar kota. Sangat disayangkan, aksi berakhir ricuh, mahasiswa kecewa, aparat kepolisian pun terpaksa membubarkan aksi itu dengan tembakan gas air mata. Dari mahasiswa dilaporkan ada yang terluka.
Mahasiswa belum menyerah, kericuhan yang terjadi di hari pertama aksi tak menyurutkan langkah kaki mereka. Justru, insiden kericuhan menyulut keberanian mereka untuk kembali datang ''menggoyang' Kantor Gubernur Aceh.
Rabu (10/4/2019) mereka datang dalam jumlah tak terhingga, koordinator aksi Ilham Zamzam mengklaim jumlah mereka mencapai dua hingga tiga ribu orang. Pantas saja, amatan Serambinews.com di lokasi, mahasiswa tampak 'menyemut' dan 'mengular' saat long march dari tugu Taman Ratu Safiatuddin menuju Kantor Gubernur Aceh.
Baca: Swasta tak Berminat Kelola Cold Storage di Simeulue
Karena itu, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Institut Katahati, Raihal Fajri mengatakan, aksi mahasiswa menolak PT EMM tersebut adalah aksi terbesar yang dilancarkan mahasiswa setelah perdamaian.
"Demonstrasi yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa untuk menuntut pencabutan izin tambang PT EMM merupakan aksi terbesar yang dilakukan oleh mahasiswa dalam kurun waktu 14 tahun setelah perdamaian Aceh," katanya.
Melalui aksi ini, mahasiswa menyuarakan penolakan masyarakat di sekitar area tambang PT EMM karena berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan masyarakat. Sebagian dari wilayah konsesi tambang berada di dalam area hutan lindung.
Menurut Raihal yang juga tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Aceh, jika dilihat lagi kronologis pemberian izin pada PT EMM, merupakan pelecehan terhadap UU Pemerintahan Aceh.
Baca: Calo CPNS Masuk LP
"Karenanya, Pemerintah Aceh harus menyatakan secara tegas dan percaya diri posisinya kepada publik Aceh terkait hal ini," kata Raihal.
Selain itu, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) Nomor 29/DPRA/2018 pada 6 November 2018 menyatakan bahwa izin usaha pertambangan operasi produksi Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal RI (BKPM RI) pada 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 156 menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh, termasuk pertambangan mineral, sesuai dengan kewenangannya serta menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
Baca: Jaksa Tangani Kasus Dana Gampong Pulo Siblah
"Sepertinya pasal ini belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh Pemerintah Aceh yang dibuktikan dengan berlarutnya penuntasan persoalan izin PT EMM. Karenanya, DPR Aceh merekomendasikan BKPM RI untuk mencabut izin tersebut dan meminta Gubernur Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPR Aceh untuk melakukan upaya hukum terhadap izin tersebut," kata Raihal.