BAGI sebagian masyarakat Pidie Jaya terlebih lagi keluarga besar jajaran Pemkab di sana, nama Syeh Ni tentu sudah tidak asing lagi.
Memiliki nama lengkap Husni (41).
Ia sudah tersohor sejak Pidie Jaya lahir pertengahan 2017 lalu.
Pria berpostur tubuh pendek, tegap berkulit agak kehitaman serta berpenampilan sederhana sehari-hari mudah ditemui di Pidie Jaya.
Ayah tiga anak bekerja sebagai tenaga honorer pada Lembaga Majelis Adat Aceh (MAA).
Suami dari Fitria Hiqamah juga masih honorer pada MTs 5 Pidie Jaya.
Berita lainnya
Baca: Empat Seniman Aceh Diusulkan Duduk di Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta
Baca: Sejumlah Seniman Aceh Antarkan Jenazah Morenk ke Lamkuta, Pidie
Baca: Seniman Aceh, Morenk Beladroe Berpulang ke Rahmatullah di Jakarta, Jenazahnya Dibawa Pulang ke Aceh
Ditemui Serambinews.com di salah satu masjid di Meureudu usai shalat zuhur, Senin (29/7) 2019, Seniman tradisional ini mengisahkan kilas balik tentang dirinya yang mulai menyukai bidang ini.
Bermula dari hobbi menyanyi saat ia masih duduk di bangku kelas V dan kelas VI SD di gampong kelahirannya Kuta Pangwa Kecamatan Trienggadeng.
Disebutkan bahwa awalnya ia hanya sekedar mengisi waktu ketika di desa dan kecamatan digelar hiburan.
Untuk mendalami bidang ini, Husni juga belajar Sastra Budaya pada M Diah Husen, seorang Seniman di Banda Aceh.
Lambat laun hobbi kearah tersebut melekat di sanubari hingga beranjak dewasa.
Kini Syeh Ni yang sudah beberapa kali tampil di tingkat provinsi dan nasional mengaku masih cinta terhadap profesinya sebagai seniman tradisional.
Berita lainnya
Baca: Relawan Mulai Distribusikan Air Bersih ke Alur Selamat, Kejuruan Muda, Kawasan Krisis Air Bersih
Baca: JCH Aceh Mulai Berziarah ke Tempat Bersejarah
Baca: DPRK Abdya Setujui Pengadaan 19 Unit Mobil Dinas, Ini Jumlah Serapan Anggaran
Yang namanya sudah begitu mencintai bidang ini, wajar saja bila tanpa diberitahu terlebih dahulu tapi ia mampu tampil dadakan.
Bersama Sanggar Meurah Seutia Pendopo, Syeh Ni sering tampil menerima tamu provinsi maupun pusat.
Tidak hanya itu, pada hampir semua pesta perkawinan baik di Pijay maupun beberapa kabupaten tetangga Syeh Ni sering diundang baik dari kesebelan pengantin pria (linto baro) maupun pengantin wanita atau dara baro khusus untuk berbalas pantun.
Sudah tentu pantun yang keluar dari mulut adalah secara spontan bercampur antara bahasa daerah (Aceh) dengan bahasa Indonesia.
Berbalas pantun saat menerima pengantin pria atau wanita memang sangat disukai masyarakat.
Biasanya, pantun yang disajikan pun kaitannya antara dara baro dan linto baro.
Tak ayal, gelak tawa tak bisa dihindari.
Pidie Jaya lahir tahun 2007, sekitar dua tahun kemudian atau pada PKA ke 5 tahun 2009 lalu, Pidie Jaya juga ikut serta.
Peunari Bubeue dan Penari Jieue, tari tradisional dari Pidie Jaya mampu menyedot massa.
Kala itu Pidie Jaya berhasil meraih juara pertama lomba Narit Maja.
Sementara kegiatan MAA tingkat provini yang digelar tahun yang sama Pijay dapat juara kedua. II.
Sanggar Meurah Seutia Pijay juga pernah tampil pada Peragaan Adat Perkawinan di Anjongan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akhir 2009 lalu dan mendapat sambutan hangat dari pengunjung.
Seumapa, Sya’e, Narit Maja, Hikayat, Panton Aceh, Nazam Aceh serta lainnya, kini tak asing lagi bagi Syeh Ni.
Pijay tanpa Syeh Ni pada sesuatu kegiatan semisal kunjungan tamu dalam dan luar daerah rasanya sangat sepi.
Ia dan kawan-kawannya lah yang membuat suana marak.
Lihat Juga:
Baca: Anggota Komisi IV DPR Aceh Minta Pemerintah Merperbaiki Run Way Lapangan Terbang Kuala Batu
Baca: Seniman Bunga Kopi Dimakamkan di Karet Bivak, Kepala Taman Budaya Aceh Kirim Bunga
Baca: Gemerlapnya Pameran Serambi Seni Versi GNI di Taman Budaya Aceh
Husni yang kini masih berstatus honorer pada MAA Pijay dikenal karena mahirnya dalam adegan ini.
Syeh Ni dinilai banyak orang serba bisa dan telah mengantarkan harumnya Pijay dengan seniman sastra tutur Aceh.
Diakhir wawancara dengan Serambi, Syeh Ni berpantun yang bunyinya, “Budaya Aceh Meusaboh Hukom, Kon barang Plok Kom Meujampu Warna.
"Bekna Meusidroue yang Ci Peusirong, Ngon Uram Bak Murong Payah Poh Bak Pha".
"Bersaing dalam Lomba, Bersatu Dalam Budaya,” timpal Syeh Ni mengakhiri kisahnya kepada Serambi. (*)