SERAMBINEWS.COM - Setiap tahunnya, masa kecil 15 juta anak perempuan di seluruh dunia berakhir ketika mereka harus menikah sebelum berusia 18 tahun.
Menurut International Centre for Research on Women (ICRW), Asia Selatan memiliki jumlah pengantin anak terbesar. Namun, pernikahan dini sendiri merupakan fenomena global.
Penelitian menunjukkan, anak-anak perempuan yang tinggal dalam kemiskinan, lebih rentan terhadap hal tersebut. Dan pada akhirnya, dengan menikah di umur yang masih sangat muda, mereka kembali mengulang siklus kemiskinan.
UNICEF mengatakan, setelah menikah, anak-anak itu harus keluar dari sekolah. Mengakibatkan kesulitan untuk mencari pekerjaan di masa depan.
“Aku tidak bisa pergi ke sekolah karena perang,” ujar Ola, pengungsi Suriah yang menikah di umur 14 tahun.
“Kami harus tinggal di rumah karena sekolah ditutup. Aku hanya belajar sampai kelas enam,” katanya.
Perang Suriah telah menciptakan pusaran pernikahan dini. Hidup berpindah-pindah, kemiskinan, dan khawatir akan keselamatan anak-anaknya mendorong keluarga untuk menikahkan putri mereka.
“Saya meninggalkan Aleppo enam tahun lalu,” kata Fatima, pengungsi Suriah yang tinggal di kamp Yordania.
“Kami biasa pergi ke sekolah, lalu pulang ke rumah setelahnya. Aku mengerjakan PR dan bermain bersama teman-teman. Jika masalahnya sudah berakhir, aku pasti akan kembali. Namun, belum bisa sekarang karena situasi yang sedang berlangsung. Di sana, hanya ada teror dan ketakutan,” cerita Fatima.
Saat ini, Yordania menjadi rumah bagi 650 ribu pengungsi Suriah. UNICEF mengatakan, ‘wabah pernikahan anak’ sedang berkembang di sana.
Sejak awal perang Suriah pada 2011 hingga sekarang, pernikahan anak telah meningkat dari 15% menjadi 36%.
Pengantin anak biasanya menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, geraknya dibatasi, dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan dalam keluarga.
Meskipun mendapat izin dari orangtua, namun menurut ICRW, pernikahan anak termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan.
Baca: Video - Seribuan Mahasiswa Demo di Gedung DPRK Lhokseumawe
Baca: Video - Kabut Asap Ganggu Penerbangan Ke Bandara Lasikin Simeulue
Baca: Video - Usung Orang-Orangan Sawah, Mahasiswa Pertanian Unsyiah Menolak RUU Pertanahan
Baca: Sempatkanlah Diri Menyaksikan MTQ Aceh
Ingin menjadi dokter
Fatima bertunangan sebelum dia berulang tahun ke-15. Orangtuanya mengatakan bahwa ia harus menikah dengan pengungsi Suriah lainnya.
“Aku bahkan belum berusia 15 tahun. Aku takut dan menangis. Pertama-tama, aku bilang kepada mereka bahwa aku tidak ingin menikah. Aku masih terlalu muda. Kemudian, orangtua mencoba meyakinkanku bahwa calon suamiku adalah pria yang baik. Aku bingung: harus setuju atau menolak? Namun, karena pria itu berasal dari keluarga yang baik dan pekerja keras, aku akhirnya setuju,” papar Fatima.