Pertemuan itu menindaklanjuti hasil pertemuan Wali Nanggroe dengan mantan wakil presiden RI, Jusuf Kalla pada 8 Oktober 2019.
Tindak Lanjut Hasil Pertemuan dengan Jusuf Kalla, Wali Nanggroe Gelar Ratas dengan Plt Gubernur Aceh
Laporan Masrizal | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar melakukan pertemuan dengan Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah bersama unsur forkopimda Aceh.
Pertemuan itu di Meuligoe Wali Nanggroe, Aceh Besar, Selasa (22/10/2019).
Pertemuan itu menindaklanjuti hasil pertemuan Wali Nanggroe dengan mantan wakil presiden RI, Jusuf Kalla pada 8 Oktober 2019.
Pertemuan Malik dengan JK ketika itu membahas persoalan poin-poin MoU Helsinki yang belum terealisasi di Aceh.
Hadir dalam rapat terbatas tersebut, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Wakil Ketua sementara DPRA Dalimi.
Kemudian hadir juga dalam rapat terbatas itu, Kasdam Iskandar Muda Brigjen TNI A Daniel Chardin, Wakapolda Aceh Brigjen Pol Yanto Tarah, dan perwakilan Kejati Aceh Mohammad Farid Rumdana SH MH.
“Tujuan saya mengundang adalah untuk sharing perkara-perkara yang belum dapat diselesaikan menurut MoU Helsinki.
Harapannya yang belum diselesaikan dapat kita diselesaikan bersama,” kata Wali Nanggroe dalam forum tersebut.
• Plt Gubernur Teken SK Ketua DPRK Abdya Definitif, untuk PNA Kabarnya Ditunda, Ini Sebabnya
• Sosok Ari Dono Sukamto, Ditunjuk Jokowi Jadi Plt Kapolri Gantikan Tito Karnavian
• Puluhan Pengemudi Mobil dan Sepmor Terjaring Razia Polantas Bireuen
Beberapa persoalan yang dibahas dalam rapat itu di antaranya mengenai tapal batas Aceh, pengelolaan pelabuhan laut dan bandar udara.
Selanjutnya perkara akses perdagangan dan bisnis Internasional serta investasi yang terkendala perundang-undangan nasional.
Kewenangan Aceh dalam mengelola migas yang terkendala peraturan perundangan sektoral.
Selanjutnya pengalihan Kanwil BPN Aceh dan Kantor Pertanahan kabupaten/kota menjadi Badan Pertanahan Aceh, serta persoalan bendera dan Lambang Aceh.
Kemudian persoalan penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Aceh yang tidak diikuti penganggaran seperti kewenangan pertanahan.
Kewenangan migas, termasuk membentuk kewenangan lembaga-lembaga khusus dan istimewa.
Selain itu juga dibahas permasalahan reintergrasi kombatan GAM ke dalam masyarakat yang belum tuntas dan permasalahan narkotika di Aceh sudah sangat krisis.
Di samping itu, juga berbagai persoalan kekhususan Aceh sebagaimana hasil perundingan MoU Helsinki yang belum dipenuhi oleh Pemerintah Pusat hingga kini.
Pada rapat tersebut, Wali Nanggroe mengusulkan beberapa tindaklajut yang kemudian disepakati oleh Forkopimda.
“Pemerintah Aceh melakukan usulan ke Pemerintah Pusat untuk dibentuk Tim Ad hoc atau Badan Ad hoc terdiri dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat dan stakeholder penandatangganan MoU Helsinki,” kata Malek.
Tim ini, lanjutnya, akan melakukan focus group discussion (FGD) tiga bulan sekali.
Tujuannya guna mengevaluasi hal-hal menyangkut permasalahan implementasi MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang belum selesai.
Kemudian membuat rencana kerja target penyelesaiannya.
“Pak JK tetap dilibatkan untuk konsultasi dan penyelesaian masalah Aceh menyangkut hal-hal yang belum selesai yang akan diteruskan ke Pemerintah Pusat.
Selain itu, Pemerintah Aceh juga akan membetuk tim kajian dalam penyelesaian permasalahan regulasi yang terkendala dengan peraturan sektoral,” demikian Malek Mahmud. (*)